Rasa Nomor 101
Katanya,
hidup itu seperti permainan, urip kuwi koyo dolanan. Tapi kenapa beraat ya?
Jika permainan, harusnya kan menyenangkan, meski kadang memang melelahkan. Jika
memang hidup adalah permainan, saya harusnya bisa menjadi pemain yang ndak
kagetan, dengan kejutan yang kerap hadir di tengah perjalanan.
Tulisan ini,
lagi-lagi masih curhatan. Saya bingung mau ngapain, terus saya curhat saja di
sini. Katarsis? Mungkin iya.
Curhatan
saya ini memang tidak seperti curhatan Anne dalam buku diarynya yang berhasil
merekam keadaan sosial di masanya. Kala itu, ia asyik sekali mengisahkan apa
yang ia alami kepada Kitty—panggilan untuk diarynya—meski di tengah gelisah luar
biasa akibat pembersihan warga Yahudi ketika Hitler masih berjaya. Anne, teman
saya bilang, berhasil menjadikan diary sebagai medium untuk memundaki derita
dan kecemasan, sekaligus menampakkan keriangan menghadapi hidup. Curhatan saya,
tentu saja jauh dari itu.
Kadang saya
iri sama orang kayak gitu, riang dan berani menghadapi hidup.
Apa yang
saya alami sekarang, tak ada yang benar-benar tahu. Sepanjang hidup saya, saya
tak pernah bercerita utuh tentang apa yang saya alami, kegelisahan saya. Selain
terlalu panjang, terlalu kompleks jika mau cerita, capek dan malas. Hanya
dengan abang kelas saya—yang padahal bertatap muka pun lewat enam tahun ini tak
pernah—saya berkisah 3/4nya. Itu edisi terlengkap. Kedua terlengkap, adalah kepada
kawan karib saya ketika di asrama, dia tahu setengahnya. Bahkan lelaki-tikungan-dengan-banyak-soneta
itu pun tak tahu, tidak mau tahu mungkin tepatnya. Dan saya mulai melupakannya.
Tak ada
lain yang saya pikirkan kecuali bagaimana mengurai satu-satu benang yang mulai
nggrundhel di kepala saya.
Apa-apa
yang saya alami dan rasakan akhirnya menumpuk. Herannya, semua datang di waktu
yang bersamaan. Seperti buron yang didengungi bising sirine, dikepung dari
berbagai sisi lalu dihadapkan dengan kokang
senjata. Yak, lebai sih. Tapi memang, saya tak bisa kabur dalam keadaan seperti
itu.
--menghela
nafas
Saya
memang (masih) percaya, tuhan memberi
beban sekaligus bahu untuk memikulnya. Tapi saya tidak mendapat penjelasan,
sekuat apa bahu pemberian tuhan itu? Apa? Tuhan memberi cobaan tidak mungkin
melampaui kekuatan makhluknya? Hmmm okei, saya harus takluk dengan dogma.
Begini.
Saya pikir,
sedih memang harus ditanggung sendirian. Karena tuhan telah memberi air mata
maka itulah bayaran atas semuanya. Tangis memang tak menyelesaikan, tapi ia
meluruhkan lara. Barangkali juga menguatkan. Begitu pembelaan saya.
Malam ini
ada yang menghubungi saya. setiap kali hal itu terjadi, seperti ada yang
tercabut dari dalam tubuh saya. sesuatu yang telah tertanam lama, mengakar,
kemudian tercabut tiba-tiba. Sakit? Tentu saja. Tapi saya tak bisa apa-apa,
diam, adalah satu-satunya yang bisa saya lakukan. Berkompromi dengan hidup.
Terbesit
juga: apa saya harus menyikapi hidup seperti Sati, yang demi membuktikan kesetiaan lalu ia rela terjun ke dalam api kremasi? Atau seperti Ekalaya yang sudi memotong telunjuknya untuk
Drona, yang patungnya ia puja sebagai mahaguru hingga kesaktiannya melampaui Arjuna?
Entahlah,
saya tak seberani mereka dalam membuat keputusan. Saya, penakut.
Semua yang
saya tulis di sini, saya pikir enggak ada yang bisa mengerti juga. Malam ini
sebenarnya saya cuma butuh sepasang kuping yang sedia mendengar dan sepasang mata yang hadir tak
menghakimi.
Sudah ah.
Curhatan
yang dalam bahasa teman saya adalah “menulis buku harian”, lagi-lagi saya ingat
kata teman saya, adalah sebuah ikhtiar yang kelewat personal namun bermakna
sosial ketika yang digoresnya adalah suara batin yang menghayati kemanusiaan.
Tapi saya sadar, curhatan saya jauh dari itu. Tulisan-tulisan saya lebih
diawali kepada kebingungan. Untuk kali ini ada satu kesamaan saya—atau yang
saya sama-samakan—dengan Anne, saya tak tahu apakah kelak yang saya tulis ini
berguna atau tidak. Jadi maaf bagi yang sudah terlanjur membaca. Selamat malam.
UK, 29
Mei 2013
Komentar
Posting Komentar