Rasa Nomor 107
Hai. Lama saya tak bercerita.
Hehe. Saya, dalam rentang dua tahun ini, kembali menemui Senin yang
menyebalkan. Di tempat memburuh saya yang sebenarnya bukan tempat
baru memburuh saya tapi menjadi baru—bingung kan?—Senin datang
terlaaaaaampau menyebalkan. Sungguh.
Padahal, pekerjaan baru saya yang
juga tak baru-baru amat ini, sebenarnya tak terlalu menyebalkan.
Membosankan sih memang. Ya sebetulnya masih sama, hanya saja cara dan
jalan yang dilalui berbeda. Seperti saya hendak ke Sekolah Pandai
Sekali, jika bulan-bulan sebelumnya saya naik kopaja dan lewat Jalan
Teuku Umar, kali ini saya naik mikrolet dan lewat Jalan Cut Nyak
Dien. Sama-sama menuju Sekolah Pandai Sekali, namun cara dan jalan
yang saya lalui berbeda. Itu berimbas pada beda juga orang-orang dan
apa-apa saja yang saya temu sepanjang jalan toh.
Memenuhi kemauan orang yang saya
juga sebenarnya nggak paham apa maunya adalah sulit. Apakah saya tipe
orang yang harus dikasih contoh terlebih dulu baru kemudian paham?
Nggak juga sih ya. tapi nggak tahu kenapa saya mendadak nggak paham
sama kemauan orang-orang di sekitar saya. sebenarnya kami
menggunakan bahasa yang sama. Tapi seolah-olah saya tak mengerti juga
paham maksud mereka. Seperti bahasa bangsa Kappa, barangkali. Atau
saya seorang Kappa dan mereka manusia. Jadi jelas jalan pikir juga
bahasa kita berbeda, cara pandang pun. Tapi saya pikir ini nanti akan
ketemu. Dalam cerita pendek yang ditulis Akutagawa Ryonosuke pun
manusia dan kappa pada suatu waktu akan menjadi saling memahami,
mengerti dan sampai pada titik temu. Kapan? Entah.
Tapi lagi, sebelum pertemuan itu
ada, bisa saya ramalkan jika Senin saya akan selalu menyebalkan dan
hari hari saya membosankan. Ya meskipun tak sepenuhnya hari
membosankan, tergantung bagaimana saya.
Kamu tahu? Saya tak bisa
mengerjakan apa-apa. lalu ada suara bertanya setiap saat: kamu tadi
mengerjakan apa? Jadi saya harus menjawab apa? Semuanya serba
membingungkan. Saya tak suka kondisi seperti ini. tapi siapa yang
hidup dengan kondisi kesukaannya? tak ada. Jadi ya sudah, saya lakoni
saja dulu. Saya tahu saya tak bisa selalu baik, tapi seperti
kalimat-kalimat klise yang tercetak pada halaman bawah buku tulis:
lakukan terbaik yang bisa kamu lakukan. Yah, sekalipun hasilnya tak
selalu baik, jauh dari baik bahkan terlampau buruk. Carpe diem!
Komentar
Posting Komentar