Rasa 108
![]() |
Teman Kursi Itu Dipotret Pagi Hari |
Tadi malam, saya mencoba
duduk-duduk di kursi panjang yang diletakkan di sepanjang trotoar di
sejumlah jalan utama ibukota. Kursi itu, sama seperti kursi-kursi
lain, barangkali tujuannya, sebagai tempat singgah. Sayang, saya tak
pernah melihat kursi itu ramai digunakan. Mungkin saya luput. Tapi
konon, pasangan muda mudi menggunakannya, hanya pada tengah malam
hingga dini hari, untuk berbagi kasih—istilah mereka. Barangkali
juga tenggelam, larut bahkan nyaris khusyu mencumbu
pasangannya satu sama lain. Tapi poin yang ingin saya ceritakan bukan
soal itu sih.
Tadi malam. Saya mencoba duduk di
kursi itu, kursi sepanjang tinggi tubuh saya. Kursi dengan sandaran
dan kaki menempel pada paving trotoar, di kawasan Rasuna Said.
Layaknya kursi-kursi lain, sebagai pelepas apa-apa, tempat
menghempaskan, piranti istirahat, bersandar. Persis, saya memakainya
untuk melepas,
melepas lelah seharian. Sebenarnya tubuh saya tak
lelah-lelah amat. Ruh saya mungkin yang lelah, sehingga lewat kursi
itu pula, saya seolah-olah mengistirahatkan ruh saya. padahal mungkin
tidak, hehe.
Setelah kursi di trotoar itu, saya
menuju tiang rambu lalu lintas di dekat jembatan. Di persimpangan
gereja.
Tadi malam, saya melepaskan resah,
di antara perjalanan, jendela metro mini dan bunyi kereta api. Kalau
sedang capek-capeknya, yang paling menyenangkan adalah jalan kaki.
Karena ada hal-hal yang luput kita perhatikan saat kita berkendara.
Hal-hal kecil, seperti tumpukan batu yang tersusun rapi, senyum caleg
partai politik di spanduk yang tak rapi editan photoshopnya, bunga
kamboja yang gugur di atas paving, atau anak laki-laki usia tujuh
yang berbicara pada tembok.
Tadi malam, saya melepas resah
pada apa saja yang lewat, apa saja yang lintas. Langit kelihatan
penuh mengisi kosong celah kanopi. Di antaranya, ada suara lelaki
yang tiba-tiba meninggi. Di saat-saat seperti itu, yang terlintas
selalu saja pertanyaan: kenapa menyesal selalu datang belakangan.
Saya, sebal karena telah melakukan sesuatu yang membuat nada
laki-laki itu meninggi. Seharusnya saya sudah terbiasa dengan nada
tinggi dan intonasi mengejutkan. Mungkin semalam saya cuma kaget
saja, lantaran nada tinggi dan intonasi mengejutkan itu datang dari
lelaki-santun-serupa-Rano-Karno-dalam-film-seri-si-doel-anak-sekolah.
Barangkali saya saja yang terlalu berlebihan, memikirkan apa yang tak
sepatutnya dipikirkan. Hmmmh. Mungkin lelaki itu lelah, dan saya juga
sedang lelah. Kami sama-sama lelah.
Tapi sudahlah.
Rasanya, hari esok itu diciptakan
untuk hadir dan lekas-lekas menghapus apa-apa yang terjadi pada hari
ini. Kemudian memulai segalanya dengan segala yang baru.
Tadi malam, saya sangat takut
kehilangan.
Tapi kawan saya pernah bilang,
seberapa matangpun persiapan saya untuk menghadapi sebuah kehilangan,
saya takkan benar-benar siap. Dan dia benar, saya tak pernah siap
dengan kehilangan. Sama seperti kehilangan-kehilangan lainnya,
mungkin nanti saya juga tak siap kehilangan dia.
Komentar
Posting Komentar