Rasa Nomor 122
Pada sebuah bulan ketiga
***
“Lo tahu nggak? Ternyata dua minggu kemarin gue stress berat,”
Seorang teman mengatakannya kepada saya, dengan energi mendekati 90 persen.
Antara kesal dan antusias. Saya menangkap ada kelelahan sekaligus daya di sana.
Itulah. Sebuah “obrolan” ringan di sela memburuh, jika tak boleh disebut
curahan hati.
Kemudian saya menimpali, itu sebabnya saya memilih cepat-cepat ambil cuti.
Indikatornya sudah jelas: saya sariawan. Dia menanggapi jawaban saya dengan
menaikkan alis. Sebelum dia bertanya, saya mendahului untuk menjelaskan.
Kebiasaan saya adalah mengukur tingkat kesetresan dengan sejumlah
tanda-tanda. Karena memang bagi saya, ada bagian tubuh tertentu yang lebih
peka. Ini juga terjadi dengan benda-benda di sekitar kita lho, menurut saya. Di
sekitar kita itu ada saja yang lebih peka, mereka memberikan respon lebih dari
yang lain, menjadi perantara, tanda-tanda. Salah satunya lewat sariawan, setiap
kali mengalami itu, saya mengartikan: tubuh saya sedang merespon kelelahan atau
kerinduan akan pulang. Maka biasanya, setiap kali saya sariawan paling tidak 3
biji, itu artinya saya harus ambil cuti. Untuk pulang ke Bojonegoro salah
satunya. Itu pula yang saya lakukan bulan lalu.
Rehat sekejap jika kau lelah, rasanya lirik lagu Dialog Dini Hari itu cukup
mewakili. Manusiawi. Kita perlu istirahat, jeda.
Belakangan, di tempat saya memburuh, saya merasakan hal-hal yang dikerjakan
begitu mepet. Seperti rumah-rumah di Jakarta, terbangun nyaris tanpa renggang.
Berdempetan. Pada setiap paragraf yang saya tulis ini saja, setiap katanya butuh
spasi. Maka barangkali begitu juga ketika menjalani alur hidup. Sebab sebuah
cerita akan terang dibaca ketika ada spasi bukan?
“Gue juga nggak lancar haid, terus diare,” kawan saya itu masih melanjutkan
ceritanya.
Kata dia, mengutip dari artikel yang dibacanya, setidaknya ada lima ciri di
mana tubuh kita mulai merasa stress. Antara lain haid tak lancar: bisa
keluarnya sedikit atau sebaliknya, lalu jerawat, sariawan, diare dan pusing
yang sangat.
Kawan saya itu mengalami kelima-limanya. Betapa tidak, fakta itu tentu bikin
dia semakin kelelahan, lelah badaniah juga rohaniah kayaknya. Akhirnya kala
itu, lanjutnya, dia memilih mengambil libur. Itulah spasi, jeda di antara
apa-apa yang harus dilanjutkan. Karena toh kehidupan harus tetap terus, maka
jeda menjadi jalan tengah saya kira.
Seperti ini sore, saya memilih menghabiskan waktu dengan melihat pohon.
Orang-orang berbaju adat menari di sebuah pelataran. Sepasang suami istri
memainkan musiknya di bawah rindang pohon, menyentuh angin, udara sore, melihat
daun jatuh. Terlalu berlebihan? Saat butuh jdeda, saya pikir hal-hal seperti
itu menjadi perlu.
Di antara petik gitas dan betot bass milik sepasang tadi, beberapa burung
tampak hinggap di cabang-cabang pohon, di atas panggung kedua musisi. Saya kira
burung itu juga sedang mengambil jeda, di antara beberapa orang yang juga
membutuhkan jeda. Hehehe.
![]() |
Rhesa & Endah di pelataran Taman Ismail Marzuki, Jakarta |
*Pledoi: Bahkan mungkin, memperbarui blog pun butuh jeda. Tapi ya nggak
selama ini sih ikaaaa. Hahaha.
Komentar
Posting Komentar