Rasa Nomor 125
[distraksi]
Kopi dalam cangkir ukuran 150 mililiter, enam iris pisang goreng, es jeruk dan nasi telur.
***
Belum lama duduk, televisi di dinding warung kopi yang saya singgahi mengeluarkan suara adzan. Maghrib tiba, saya membatin.
Orang di seberang telepon masih menceritakan beberapa hal, sementara saya mendengar sambil sesekali mengunyah makanan, menyelingi dengan minum perasan jeruk nipis yang 15 menit lalu saya pesan.
Kadang-kadang, atau seringkali saya merasa terlalu banyak memikirkan hal-hal di luar kekuasaan saya lantas malah melupakan apa-apa yang di dalam kekuasaan saya. Seperti makan, atau membawa payung sebagai jaga-jaga kalau hujan di tengah jalan.
Alih-alih memikirkan diri sendiri, saya memikirkan hal lain; apakah orang lain baik-baik saja, bagaimana si A melakoni hidupnya setelah bercerita tentang kesedihannya pekan lalu. Atau sudahkah perasaan kawan karib saya itu membaik, atau, apakah menjadi keputusan paling baik bagi induk kucing yang memilih untuk meninggalkan anaknya padahal sang anak masih usia menyusu. Diikuti segala detail. Sial.
Di lain kadang, saya dimintai pendapat, lalu nyangkem seolah-olah tahu padahal mungkin saja saat itu saya hanya berpura-pura mengerti tentang sesuatu. Sebab saya tahu, bagaimanapun juga, saya takkan pernah betul-betul paham kondisi orang lain. Dengan diri sendiri saja belum selesai, bagaimana dengan orang lain.
Pada saat-saat seperti itulah, saya seolah nyangkemi diri saya sendiri. Jika itu sebuah nasihat, sebutlah saat itu boleh jadi saya sedang menasihati diri saya sendiri.
Contoh lain, ketika Johan Budi--bekas Juru Bicara dan Plt Pimpinan KPK--memilih menerima pinangan Presiden Joko Widodo untuk menjadi juru bicara istana. Saya betul-betul sedih. Tapi sebetulnya saya tahu, itu tak perlu, selain tentu, hal tersebut di luar kekuasaan saya.
Atau ketika kawan saya memutuskan untuk memangkas rambut dengan alasan menghabiskan banyak sampo. Padahal menurut saya, dia kelihatan lebih baik ketika berambut gondrong. Tapi toh itu rambutnya, juga hidupnya tentu saja. Saya pun tak yakin akan ikut memasok kebutuhan samponya sehari-hari ketika ia memilih tetap gondrong atau akan terus di sampingnya dan memastikan selalu cekatan merapikan rambutnya ketika kegondrongan itu membikin rupanya terlihat berantakan—kecuali saya adalah istrinya.
Jadi ya, itu alasan mengapa saya harus mengurangi memikirkan hal-hal yang di luar kekuasaan saya. Boleh sih ik, memikirkan, tapi ya sewajarnya. Sayangnya--atau sialnya, saya belum menentukan batas kewajaran itu.
Orang di seberang telepon yang sejak tadi bicara, masih juga bicara sebelum akhirnya dia pamit untuk salat.
***
Saya memesan cangkir kopi kedua, sementara otak saya masih mengendapkan beberapa hal di luar kuasa saya.
Tangan kanan saya meraih kuping cangkir, seruputan terakhir ternyata. Dari cangkir kedua, ini kali masih dalam kuasa saya dan rasa-rasanya saya harus pulang.
Bye.
Kopi dalam cangkir ukuran 150 mililiter, enam iris pisang goreng, es jeruk dan nasi telur.
***
Belum lama duduk, televisi di dinding warung kopi yang saya singgahi mengeluarkan suara adzan. Maghrib tiba, saya membatin.
Orang di seberang telepon masih menceritakan beberapa hal, sementara saya mendengar sambil sesekali mengunyah makanan, menyelingi dengan minum perasan jeruk nipis yang 15 menit lalu saya pesan.
Kadang-kadang, atau seringkali saya merasa terlalu banyak memikirkan hal-hal di luar kekuasaan saya lantas malah melupakan apa-apa yang di dalam kekuasaan saya. Seperti makan, atau membawa payung sebagai jaga-jaga kalau hujan di tengah jalan.
Alih-alih memikirkan diri sendiri, saya memikirkan hal lain; apakah orang lain baik-baik saja, bagaimana si A melakoni hidupnya setelah bercerita tentang kesedihannya pekan lalu. Atau sudahkah perasaan kawan karib saya itu membaik, atau, apakah menjadi keputusan paling baik bagi induk kucing yang memilih untuk meninggalkan anaknya padahal sang anak masih usia menyusu. Diikuti segala detail. Sial.
Di lain kadang, saya dimintai pendapat, lalu nyangkem seolah-olah tahu padahal mungkin saja saat itu saya hanya berpura-pura mengerti tentang sesuatu. Sebab saya tahu, bagaimanapun juga, saya takkan pernah betul-betul paham kondisi orang lain. Dengan diri sendiri saja belum selesai, bagaimana dengan orang lain.
Pada saat-saat seperti itulah, saya seolah nyangkemi diri saya sendiri. Jika itu sebuah nasihat, sebutlah saat itu boleh jadi saya sedang menasihati diri saya sendiri.
Contoh lain, ketika Johan Budi--bekas Juru Bicara dan Plt Pimpinan KPK--memilih menerima pinangan Presiden Joko Widodo untuk menjadi juru bicara istana. Saya betul-betul sedih. Tapi sebetulnya saya tahu, itu tak perlu, selain tentu, hal tersebut di luar kekuasaan saya.
Atau ketika kawan saya memutuskan untuk memangkas rambut dengan alasan menghabiskan banyak sampo. Padahal menurut saya, dia kelihatan lebih baik ketika berambut gondrong. Tapi toh itu rambutnya, juga hidupnya tentu saja. Saya pun tak yakin akan ikut memasok kebutuhan samponya sehari-hari ketika ia memilih tetap gondrong atau akan terus di sampingnya dan memastikan selalu cekatan merapikan rambutnya ketika kegondrongan itu membikin rupanya terlihat berantakan—kecuali saya adalah istrinya.
Jadi ya, itu alasan mengapa saya harus mengurangi memikirkan hal-hal yang di luar kekuasaan saya. Boleh sih ik, memikirkan, tapi ya sewajarnya. Sayangnya--atau sialnya, saya belum menentukan batas kewajaran itu.
Orang di seberang telepon yang sejak tadi bicara, masih juga bicara sebelum akhirnya dia pamit untuk salat.
***
Saya memesan cangkir kopi kedua, sementara otak saya masih mengendapkan beberapa hal di luar kuasa saya.
Tangan kanan saya meraih kuping cangkir, seruputan terakhir ternyata. Dari cangkir kedua, ini kali masih dalam kuasa saya dan rasa-rasanya saya harus pulang.
Bye.
![]() |
salah-satu-yang-di-luar-kuasa-saya| Captured by Asrul |
Komentar
Posting Komentar