Percaya




Delapan tahun lalu, saya menulis, saya tak akan percaya pada siapapun kecuali ibu saya.

Saat itu saya mengalami sesuatu dan, sejak itu saya belajar satu rangkaian kemungkinan; sebagian orang akan mengarang cerita untuk kebaikannya masing-masing, sebagian lagi mengedit cerita untuk menyelamatkan diri dan orang yang mereka ingin selamatkan, lalu sebagian lainnya hanya mengungkapkan apa yang ingin mereka ceritakan.

Karena itu saya jadi sulit percaya dengan cerita orang. Mulut yang bercerita punya versi masing-masing.

Dan tentu saya--yang sarat keterbatasan, tak akan bisa menjamin mana yang benar. Meski ya, ada yang bilang kebenaran itu berkembang, kontekstual, bukan?

Orang kan bisa saja menganggap satu hal benar, tapi lalu yang lain menganggap itu keliru. Atau, suatu waktu, seseorang memegang satu hal sebagai kebenaran. Tapi lalu, waktu berjalan, banyak hal terjadi, boleh jadi satu hal itu berubah nilainya.

Bisa kah, begitu? Bisa kali ya. Nggak tahu.

Cuma barangkali, mungkin saja ada di antara orang-orang yang saya kenal yang, menceritakan keseluruhan kenyataan, apa yang sedang terjadi tanpa edit--sekalipun menyakitkan, betapapun memalukan, meskipun itu membuat dirinya tak terselamatkan. Saya berekspektasi dan belajar menjadi yang kelompok ini, susah payah, tentu banyak luka dan rasa sakit.

Tapi di antara itu, yang masih sulit diterima barangkali soal, laku mempersalahkan yang lain dan menganggap kebenaran itu tunggal. Soalnya kan, kadang-kadang semua itu soal cara pandang, juga konteks. Malahan ada yang mematok apa yang dianggap benar itu berdasar selera belaka. Gimana bisa?

Beberapa orang mungkin terlihat kasar, tapi mereka sesungguhnya enggak jahat. Beberapa lainnya terlihat baik dan ramah, tapi boleh jadi mereka adalah penjahat yang sebenarnya.

Yawdala. Apapun itu, lakoni dhisik wae. Bye.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.