Rasa 109

Pada Jumat siang yang gerah, saya dan kawan saya jalan-jalan ke luar tempat memburuh kami, menghabiskan jam istirahat, makan siang tepatnya. Seperti biasa, kami bingung memilih menu makan. Tak hanya dengannya, dengan siapapun, sepertinya kebingungan yang saya rasa selalu sama: memilih menu makan. Hingga akhirnya kami memutuskan makan di tempat yang tak penuh, sekaligus sesuai dengan selera kami. Oh iya, sebenarnya kami ingin makan di Bakmi Pak Min—sebuah tempat makan yang menyediakan tak hanya bakmi tapi juga masakan lain dengan khas rasa bumbunya yang lekat--, namun karena tempat itu selalu penuh, maka jadilah kami memilih tempat makan lain. Rejeki itu menjadi milik ibu-ibu penjual masakan Yogya. Kami makan di situ. Bukan makan gudeg.

Saya pesan nasi goreng ikan asin dengan telor ceplok dipisah—tapi seperti biasa, tak boleh terlalu jauh karena LDR itu menyusahkan. Saya pesan nasi gorengnya dibuat pedas.

Kawan saya memilih menu nasi pecel, dengan empal daging--daging sapi yang digoreng. Kawan saya ini dari Jawa Timur, nampaknya ia suka pecel. Karena beberapa kali kami makan di tempat ibu-ibu Yogya, ia selalu memesan pecel. Kalau waktu yang lalu ia makan dengan peyek, siang itu ia pilih kerupuk. Tapi tetap sama, dengan empal daging.

Nasi pecelnya datang duluan. Nasi goreng saya yang ternyata tak pedas sama sekai itu datang belakangan. Kami makan. Menikmati apa yang ada di depan kami. Kemudian es teh manis yang kami pesan menyusul datangnya.

Saya masih makan. Kawan saya pun.

Hingga akhirnya kami bercerita. Saya lupa bagaimana memulainya. Hingga akhirnya ia menceritakan hal yang menurut saya paling dalam yang ia punya. Mungkin saya salah. Tapi saya pikir persoalan yang sulit diceritakan adalah tentang keluarga. Dan pada siang yang gerah itu, ia menceritakannya pada saya. Tak dalam memang yang ia ceritakan, seperempat-seperempat. Nyaris gelap. Tapi saya sedikit bisa menerka—sok tahu sih tepatnya. Kemudian di antara percakapan kami, terlontar dari mulutnya: bersyukurlah kamu punya orangtua yang baik-baik saja.

Saya, berhenti mengunyah, detik itu juga sebenarnya ingin menjawab. Tapi urung. Secepat kilat saya memutuskan, untuk apa saya menjawab. Tak penting berdebat pada jam makan siang. Saya melanjutkan kunyahan saya.

Mungkin kelak, saya akan bilang ke kawan saya itu, bersyukur di atas kemalangan yang lain, menurut saya hanya sia-sia belaka. Untuk apa? Saya masih tak habis pikir, memang ada cara akurat mengukur keberuntungan dan ketakberuntungan seseorang? Hanya karena kita lebih sial dari orang lain atau sebaliknya? Yang saya tahu, setiap orang kan ya memanggul salibnya masing-masing tho.

Jika kawan saya mengatakan, beruntung saya memiliki orangtua yang baik-baik saja, apa lantas kehidupan saya menjadi lebih baik, lolos mengatasi segala ujian hidup? Tidak juga kan? Hingga saat ini saya selalu mencoba untuk menjalani hidup, tanpa membandingkan. Meski sulit, sering tersandung.

Kadang kemalangan baru bisa dimaknai sebagai kemalangan karena ada kemalangan yang lebih akbar. Tapi sebetulnya toh mereka sama-sama malang. Atau sebaliknya, keduanya sama beruntung.
Di antara telunjuk dan jari tengah, nikotin hampir kehabisan nyalanya. Ia kemudian menyambar korek api warna biru sepaket dengan bungkus segi empat warna tosca yang dari tadi tiduran di meja kami. Membayar makanan.

Hingga kami meninggalkan warung makan itu barangkali ia tak menyadari atau mungkin tak akan pernah sadar, jika kemalangan adalah milik setiap orang, pun keberuntungan.



UK, 04 Oktober 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.