Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2015

Rasa Nomor 124

Gambar
kamboja, captured by me Hari hampir subuh, saya belum juga tidur ketika menemukan potongan kisahmu tepat saat kantuk mengajak berangkat. Mata pun kembali terjaga, batu di gelas tlah mencair, kemudian saya membakar daun yang tersisa. Mendapati kau lagi di tengah tumpukan tenggat yang belum juga rampung adalah hal yang menyebalkan. Apalagi kau tak hadir sendirian. Jauh sebelum ini saya sadar, apa yang pernah saya miliki kelak bisa saja pergi jika tak baik saya merawatnya. Ini berlaku untuk benda-benda kesayangan, atau juga sebuah hubungan. Seperti biasa, karenanya saya selalu menyalahkan segala rutinitas maha brengsek yang melelahkan. Tapi sebenarnya saya paham, kekeliruan ada pada saya yang tak cakap mengatur waktu. Dan ketika saya mengerti, ketika itu pula rupanya saya tlah kehilangan. Saat itu juga, ada yang tertahan di pangkal tenggorokan. Biasanya diikuti air yang melewati pipi, kadang ia juga menyusuri pinggiran hidung. Hari hampir subuh, Yansanjaya--musis...

Rasa Nomor 123

Gambar
Pledoi.   Sebuah karya di sebuah pameran. Lupa yang bikin siapa :| Captured by me “kamu menyedihkan, masih muda tapi serius sekali,” Seorang mbak-mbak menyatakan keprihatinan untuk saya, di sebuah warung makan di pojokan gang. Pada sebuah jamuan sore itu, dengan air muka yang nyaris seperti saat presiden ke-6 kita menyatakan keprihatinannya, tapi minus kantung mata yang besar. Kantung mata mbak-mbak itu biasa saja. Lalu pernyataan itu dibarengi dengan bonus sunggingan senyum dari salah satu sudut bibirnya. Saya sih bisa mengajaknya ngobrol lebih panjang soal definisi serius, atau bagaimana menghadapi hidup bagi saya, atau tetek bengek tentang hidup saya dan hidup dia yang tak bisa serta merta dibandingkan, atau bahwa jalan yang ditempuh manusia itu berbeda, atau tentang kacamata dan cara pandang. Tapi mengingat akhir-akhir ini saya sedang sensitif—baca: senggol bacok--, maka dengan penuh kesadaran, saya memilih menahan diri. Saya menanggapi perempuan ber...