Rasa Nomor 124
kamboja, captured by me |
Hari hampir subuh, saya belum
juga tidur ketika menemukan potongan kisahmu tepat saat kantuk
mengajak berangkat. Mata pun kembali terjaga, batu di gelas tlah mencair,
kemudian saya membakar daun yang tersisa.
Mendapati kau lagi di tengah
tumpukan tenggat yang belum juga rampung adalah hal yang menyebalkan. Apalagi
kau tak hadir sendirian.
Jauh sebelum ini saya sadar, apa
yang pernah saya miliki kelak bisa saja pergi jika tak baik saya merawatnya.
Ini berlaku untuk benda-benda kesayangan, atau juga sebuah hubungan. Seperti
biasa, karenanya saya selalu menyalahkan segala rutinitas maha brengsek yang melelahkan.
Tapi sebenarnya saya paham, kekeliruan ada pada saya yang tak cakap mengatur
waktu. Dan ketika saya mengerti, ketika itu pula rupanya saya tlah kehilangan.
Saat itu juga, ada yang tertahan di
pangkal tenggorokan. Biasanya diikuti air yang melewati pipi, kadang ia juga menyusuri
pinggiran hidung.
Hari hampir subuh, Yansanjaya--musisi Bali itu--merdu mengalun lagu rindu. Lantas saya coba mengingat apa saja yang pernah kau bicarakan,
dan tentu mau tak mau harus siap dengan kenyataan bahwa itu takkkan lagi berulang.
Saya, seperti tahun-tahun yang lalu,
masih saja tak berubah. Tak pandai merawat apa yang pernah singgah, sedia mampir.
Sedangkan kau, barangkali sudah banyak berubah.
Batu di gelas tandas, saya
kembali membakar sisa daun di atas meja kerja.
UK, 26 Juli 2015
Komentar
Posting Komentar