Rasa Nomor 123
Pledoi.
![]() |
Sebuah karya di sebuah pameran. Lupa yang bikin siapa :| Captured by me |
“kamu menyedihkan, masih muda
tapi serius sekali,”
Seorang mbak-mbak menyatakan
keprihatinan untuk saya, di sebuah warung makan di pojokan gang. Pada sebuah
jamuan sore itu, dengan air muka yang nyaris seperti saat presiden ke-6
kita menyatakan keprihatinannya, tapi minus kantung mata yang besar. Kantung mata
mbak-mbak itu biasa saja. Lalu pernyataan itu dibarengi dengan bonus sunggingan
senyum dari salah satu sudut bibirnya.
Saya sih bisa mengajaknya ngobrol
lebih panjang soal definisi serius, atau bagaimana menghadapi hidup bagi saya,
atau tetek bengek tentang hidup saya dan hidup dia yang tak bisa serta merta
dibandingkan, atau bahwa jalan yang ditempuh manusia itu berbeda, atau tentang
kacamata dan cara pandang. Tapi mengingat akhir-akhir ini saya sedang sensitif—baca:
senggol bacok--, maka dengan penuh kesadaran, saya memilih menahan diri. Saya
menanggapi perempuan berperawakan ginuk-ginuk itu hanya dengan satu kalimat:
menyedihkan menurut kamu, Mbak.
Saya tak yakin dia dengar,
apalagi paham. Sebab sudah kadung tenggelam dalam asumsi-asumsinya. Lalu
obrolan dilanjutkan dengan pertanyaan ke teman-teman lain yang ada di warung
makan itu, pertanyaan yang sebenarnya wujud permintaan dukungan, pembenaran atas
pernyataannya dari orang lain.
“Iya kan, ika ini serius banget?
Padahal masih muda…”
Kedua teman kami yang lain diam. Memandang
orang lain menyedihkan menurut versi dia adalah selesai. Maksudnya begini, kita
ini sawang sinawang, saling melihat. Jika penilaian kita sudah dipenuhi dengan
prasangka, yasudah tho, mau mencari apa lagi sebab satu-satunya yang dianggap
benar adalah prasangka itu sendiri. Bingung ya? Sengaja, biar mikir :b
Jadi misalnya gini, saya menganggap
seseorang itu menyedihkan, namun jika orang itu nyaman dengan apa yang ia jalani.
Ya hidupnya menjadi tidak menyedihkan tho? Begitupun sebaliknya, kita kadang
menduga seseorang sedang bahagia melakoni hidupnya. Atau misal kita menyangka,
Aurel bahagia dengan hidup bergelimang harta, berpapah Anang dan bermamah
Ashanty. Berpipi tirus dan bermata indah. Pun dengan Agnez Mo yang bahagia
karena nyaris go internasional. Atau sebaliknya, kita menganggap mereka
menyedihkan. Keduanya sama-sama hanya anggapan kan, prasangka. Boleh jadi benar,
tapi bisa juga salah.
Sebenarnya kebahagiaan dan
kesedihan toh punya versi masing-masing. Mereka lentur, menyesuaikan dengan
wadahnya. Mungkin begitu. Cuma soal di mana ia diletakkan saja bukan?
Bahkan kadang lho, meskipun orang
menafsir kebahagiaan dengan cara yang sama, mereka tentu tak benar-benar plek serupa.
Isi kepala orang sangat mungkin berbeda. Siapa yang tahu tho?
Dulu, saya dan mbak-mbak ini satu
tempat bekerja. Sekarang dia sudah pindah. Mungkin memang sebagian orang dewasa
dan orang waras begitu kali ya kelakuannya, sibuk meyakinkan orang lain tentang
apa yang dianggapnya benar melalui berbagai macam cara. Bahkan, kadang
memaksakan. Saya sangsi mereka melakukan itu dalam keadaan sadar.
Kalau kemauan
orang-orang dewasa itu diikuti, ya capek kali ya saya. Biarlah saya dianggap menyedihkan.
Toh juga nggak ngaruh sama nilai tukar rupiah, apalagi perekonomian Yunani, ihikhik.
Nggak nyambung? Emang, sengaja biar kening berkerut.
Jangan terlalu serius, kamu masih muda :)
BalasHapusha ha ha. iya juga yaaa ~
Hapus