Bunuh Diri
Setiap 10 September, dunia memperingati hari pencegahan bunuh diri. Masih
segar di ingatan, tahun 2017 ini kabar bunuh diri rapat diberitakan. Menjadi pembahasan
di media massa juga sosial. Lantas warganet bersicepat mengomentari setiap
kejadian, ada yang menyampaikan duka tapi tak jarang juga meluncurkan cemooh. Namun bagaimana persisnya yang dirasa oleh seorang yang mencoba bunuh diri? Saya mendengarkan
cerita penyintas bunuh diri, Listiyani Indriya Noviyanthi.
Pagi
itu Jumat, 21 Juli 2017 di sebuah kamar apartemen di kawasan Jakarta Selatan,
Listiyani bangun tidur seperti biasa; meraih telepon seluler, masuk ke laman
media sosial, menggeser-geser layar, mengecek lini masa. Namun beberapa menit
berikutnya menjadi tak biasa.
Dari
pendar layar telepon genggam dia dapati kabar: Chester Bennington, vokalis utama
band Linkin Park tewas gantung diri pada Kamis 20 Juli. Jasadnya ditemukan
pukul 9 pagi waktu Los Angeles oleh sang istri.
Seketika
perempuan usia 28 itu menyalakan televisi, tapi kemudian menekan lagi tombol
power. Dia kembali ke telepon genggam dan menulis pesan pendek untuk kawannya,
Benny Prawira.
“Ben, gua sedih, affecting banget nih si
Chester. Komentar-komentar kok begini amat,” tulis Listy. Benny pun memintanya tak
melihat media sosial untuk sementara.
Sebagai
penggemar, Jumat itu merupakan hari berkabung baginya. Lagu-lagu Linkin Park selama
ini menjadi kawan baik Listy. Kabar kematian sang idola itu membuatnya kacau.
“Gua grow up dengan lagu mereka, dan
ketika kejadian kemarin itu kan bisa ….”
ceritanya dibiarkan menggantung. Beberapa detik berikutnya dia baru bisa
melanjutkan kalimat, ditambah nada yang terdengar seperti penyesalan.
“Lagu-lagu
mereka itu gua banget. Dan dia meninggalnya
dalam keadaan kalah, ketika battle
melawan depresi.”
Listy
mengikuti Linkin Park sejak album debut Hybrid Theory muncul pada 2000. Pada
tahun-tahun itu dia mulai mengenal perasaan kosong yang tak bisa dijelaskan. Dan,
lirik-lirik yang ditulis Bennington seolah bisa mewakili.
“Pada 2005, waktu SMA itu gua sempat nggak
mau punya teman. Cuma di kamar, dikunci, dan main game. Gua bisa main game
sampai jam 7 pagi. Lalu tidur sampai jam 12 siang lalu bangun lagi, makan, main
game lagi, gitu aja terus,” kenangnya.
Lima
tahun berikutnya, perasaan itu diikuti tindakan menyakiti diri (self harm).
“Waktu UAN, gua berasa berat banget. Gua sampai attempting self harm.
Tapi gua pikir, saat itu hal yang biasa saja, karena kegalauan remaja,”
sambungnya.
Listy
remaja, belum sadar dirinya mengalami depresi. Hingga dua tahun silam ia melakukan percobaan bunuh diri. Saat Listy sedang sendiri di kamar sewanya,
keinginan untuk mengakhiri hidup begitu kuat. Dorongan itu menumpuk dikarenakan
persoalan pekerjaan, hubungan pertemanan dan, yang utama faktor keluarga.
“Gua berada di titik nol, tidak merasakan apa-apa. Gua nggak bisa mengidentifikasi
perasaan itu senang atau sedih. Kosong, kayak kesemutan. Perasaan kayak kram:
sedih nggak, senang juga nggak.”
Percobaan
bunuh diri pada 2015 itu gagal. Tapi hari-hari setelahnya, Listy masih
memikirkan cara-cara lain untuk mati. Hasrat itu berhenti ketika dia harus
mengurus J-big dan Rexie –anjing peliharaan Listy.
“Kalau
gua nggak ada, mereka sama siapa? Dengan muka manja gitu kan, gua mikir, mereka
main sama siapa? Nggak ada yang ngasih makan. Dari situ gua postponed.”
Lambat
laun Listy mengerti apa yang dialaminya sejak SMA itu dinamakan depresi. Dan
belakangan dia tahu, binatang peliharaan bisa menjadi terapi depresi.
Pada
2016, Listy lantas memutuskan bergabung dengan Into The Light—komunitas
pencegahan bunuh diri dan kesehatan jiwa. Apabila tahun-tahun sebelumnya dia
mencari sendiri informasi mengenai kesehatan mental, kini di komunitas tersebut
Listy bisa diskusi dan berbagi pengalaman. Bahkan aktif menjadi relawan.
“Itu
ada pelatihannya berbulan-bulan. Selama di Into The Light gua bisa sharing,
jadi mental gua membaik, dan di situ banyak yang punya pengalaman yang sama,”
tuturnya.
Meski
begitu, alumni pasca sarjana Institut Teknologi Bandung (ITB) ini tahu betul,
depresi bisa hinggap lagi kapan suka. Sekalipun, Listy telah terpapar pelbagai
pengetahuan mengenai kesehatan jiwa.
“Kalau
lagi down, pikiran terblok nggak bisa mikir. Apakah bunuh diri itu
pilihan? Bukan. Tapi ketika di tahap itu nggak ada pilihan, ya kepikirannya
cuma bunuh diri. Karena saat seperti itu cuma ingin kabur, menghilangkan rasa
sakit,” ungkap Listy.
“Apakah gua mikir
sakit? Nggak itu. Keinginan besar sekali. Gua cuma memutuskan tidak ingin ada
lagi di dunia ini, karena dunia ini terlalu kejam sama gua.”
Depresi,
adalah gangguan kesehatan jiwa yang tak pantas dianggap enteng. Menurut
Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PSDKJI), sembilan juta
orang mengalami depresi, dari total 261 juta jiwa penduduk Indonesia. Data lain
dari lembaga yang sama menyebut, 30 persen kasus kematian akibat bunuh diri
dipicu depresi yang, sebetulnya bisa ditangani.
Belajar
dari pengalaman, Listy mulai mengenali tanda-tanda jika depresinya kambuh. Di
antaranya mual dan sakit kepala luar biasa.
“Sekarang
masih minum obat, karena ada cairan yang kurang di otak kan. Sama selfcarenya
kalau sedih itu mikir penyebabnya, jadi merunut. Gua sedih kenapa, bagaimana mengatasinya. Ini beda-beda setiap orang. Kalau gua main game, atau ketemu
teman, beli barang.”
Karenanya,
tiap kali merasakan gejala itu, Listy sudah bisa mengantisipasi agar tak
memburuk. Misal dengan mengontak Benny--kawannya di komunitas Into The
Light. Seperti ketika kematian Chester Bennington menggoncangnya.
”Ihhh, Itu tuh
ngaruh banget. Karena baca komen orang yang, bayangin itu netizen lagi pada
happy, dengan komen mereka: ini pasti karena kamu kurang iman. Mereka kayak
nggak bisa empati. Mereka kan lagi dalam tahap yang normal. Dia tidak sedang
merasakan, orang yang sedang depresi, sedang sedih.”
“Gua tahu banget otak gua. Kalau sudah (gejala depresi) gitu, gua langsung keluar. Mandi, langsung
pergi. Pokoknya jangan di kamar sendirian,” ungkap Listy. Media sosial pun
sementara dia non-aktifkan.
Bertahun melawan depresi bagi Listy memang tak mudah. Bukan saja soal menghadapi
stigma melainkan juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya awas terhadap
kesehatan mental.
“That’s
really …. berat sih melawannya. But well, gua nggak mau gitu terus.
Capek sih. Ke fisik iya, ke mental iya.”
“Jadi, jangan
takut untuk mengambil langkah awal, langkah untuk penyembuhan. Kamu itu nggak
sendiri, di komunitas itu banyak orang-orang yang sudah teredukasi, nggak
judgemental dan nggak menstigma.”
Pada
2012 WHO mencatat, angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia melebihi 9.000
nyawa. Dan depresi menjadi pemicu utamanya.
*[ini versi belum sunting. tulisan ini sudah pernah disunting dan dimuat di tempat memburuh, hehe]
Komentar
Posting Komentar