Emi, Cinta-cintaan
Dua tangan dengan gurat otot itu menggenggam panjang selang air.
Diikuti gerakan ke segala arah, air dari selang membasahi lahan yang
luasnya kira-kira setengah lapangan bola.
Musim sedang kemarau, petani harus rajin menyiram lahan kalau tak mau hasil panennya buruk.
Tiba-tiba saya membayangkan tokoh Santiago dalam novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Santiago, nelayan tua yang masih berkeras melaut, mencari ikan. Tapi ini kali bukan di tengah arus Teluk Meksiko, melainkan di petak ladang Desa Sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Laki-laki tua itu berdiri di lahan yang ditumbuhi sayuran. Kaos putihnya belepotan tanah, menutupi seluruh lengan hingga pergelangan tangan. Celana panjangnya dilipat hingga di bawah lutut, sementara topi ia kenakan untuk melindungi kepala dari terik matahari.
Dia mestinya tak perlu lagi ke kebun sayur. Mengingat hasil dari ternak dombanya, cukup untuk membangun rumah, menghidupi anak-anaknya atau kebutuhan harian lainnya. Tapi namanya cinta, kan perkara lain.
Nah, sebagaimana Santiago pada laut, saya menduga begitu pula perasaan laki-laki ini kepada tanah. Cangkul tetap tak bisa ditanggalkan sebagaimana Santiago kepada jaring ikan.
Yang saya ceritakan ini namanya Emi. Emi tetap ke kebun sayur meski hasil dari ternaknya sudah lebih dari cukup. Sekalipun, yang ia garap itu bukan lahannya sendiri. Ya artinya, dia tak punya lahan dan kini jadi buruh tani.
2015 saya menjumpainya, di lahan milik orang yang terletak di kawasan bagian bawah desa Sarongge. Geraknya masih gesit ketika menggemburkan lahan--mungkin terlihat 10 tahun lebih muda dari usianya, berarti, saat-saat lahan masih ia miliki.
Lahan miliknya dulu, masuk wilayah konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Itu pula sebab mula hijrahnya Emi, dari bertani menuju berternak.
Okei, meski ya, belakangan lantas kita tahu tak kaffah pula perpindahan itu. Dia tetap saja senang berkebun kendati sudah dapat hasil melimpah dari beternak.
Jadi ceritanya awal 2012, Taman Nasional punya program penghijauan kembali kawasan konservasi. 10 petak lahan garapan Emi masuk sasaran program. Maka mau tak mau, dia harus merelakan lahan seluas 4.000 meter persegi yang rutin ia tanami sayur itu, jadi areal adopsi pohon.
"Yaa, diminta sama taman nasional, kan itu mau diasrikan lagi katanya, dibuat hutan lindung. Ya mau nggak mau saya turun, biar semua selamat sampai anak cucu," kenang Emi.
Turun yang ia maksud adalah tak lagi menggarap lahan di lereng gunung. Turun dari lereng gunung.
Penanaman pohon atau reboisasi atau penghijauan itu, berguna menghutankan kembali lereng Gunung Pangrango yang botak. Sebagai ganti lahan, pemerintah yang saat itu Presidennya adalah Susilo Bambang Yudhoyono menukar dengan uang bantuan.
Bukan Emi saja, ada puluhan petani lain. Sesudahnya, dimulailah babak baru kehidupan Emi. Duit bantuan digunakan untuk bikin kandang dan membeli domba betina.
"Nggak tahu kenapa Bapak pilih domba. Karena senang saja itu. Sudah nasib saya berjodoh dengan domba."
Untung saya tak membalas: nasib itu, Pak, adalah kesunyian masing-masing.
Pasase Chairil Anwar barusan boleh jadi berlaku bisa juga tidak. Tapi yang jelas, hidup Emi setelah ditemani kawanan domba itu kian ramai. Ia pun cepat dikenal warga kampung tetangga karena kualitas dombanya.
Berbekal kabar dari mulut ke mulut, bandar domba kerap menyambanginya.
"Banyak yang tanya: kumaha, Mang? Domba ini dulunya jelek dari saya, sekarang jadi gemuk besar begini?”
Yang ditanya hanya senyum. Emi mengaku tak ada ilmu pasti dalam mengurus domba. Ia, hanya mencintai dombanya. Saya juga tak bisa menerjemahkan pasti jawaban itu.
"Yang penting domba makan. Mau hujan mau gimana nggak jadi soal, biar hujan bapak juga tetap nyari rumput," sambungnya. Kalau hanya hujan lebat dan petir, itu perkara sepele di tengah rutinitasnya merumput.
Lelaki yang tak lagi ingat kapan ia lahir itu, akan terus mengenang keputusan turun gunung dan beralih mata pencaharian. Ia bilang, turun gunung adalah salah satu pilihan berat dalam hidupnya. Meski, kini masa itu sudah lewat.
Keberanian Emi meninggalkan cinta pertamanya, menurut saya, tak lantas menggerus si first love itu kan. Kita tahu Emi tetap akan mencari tanah. Justru, ia melahirkan cinta baru, domba-dombanya. Hehehe.
Kadang-kadang, urusan cinta itu bisa jadi pelik bisa jadi nggak pelik-pelik amat ya. Apasih. Ya gitu, saya mah inginnya tidak rumit-rumit amat berpikir, yang penting mah yah yaudah lah dilakoni weh kayak Pak Emi. Apakah bagi Emi, rasanya meninggalkan tanah itu seperti melepas kekasih yang dicintai? Merelakan dia yang membuat kita selalu senang bangun esok harinya lalu esok harinya lagi lalu... ah.. elahh
***
Grup pesan instan juga media sosial sedang ramai kabar Ahok yang menggugat cerai Vero, istrinya. Sebagian orang mendadak jadi pengamat dan penasihat sobat cinta-cintaan tanpa diminta, sebagian lain mendoakan seolah mengerti yang terbaik, beberapa lagi berpura-pura bodoamat tapi tetap kepo dan, banyak juga sih saya rasa yang, betul-betul bodoamat atau mungkin tepatnya yaudasih biarin weh--ya karena dapur harus ngepul, mikir besok mau makan apa, atau ladang jagungnya yang sedang diserang ulat hijau atau, ketar-ketir backhoe tiba-tiba menghantam rumah mereka. Hidup, harus terus diberangkatkan, ik. Dah ah, bye.
Musim sedang kemarau, petani harus rajin menyiram lahan kalau tak mau hasil panennya buruk.
Tiba-tiba saya membayangkan tokoh Santiago dalam novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway. Santiago, nelayan tua yang masih berkeras melaut, mencari ikan. Tapi ini kali bukan di tengah arus Teluk Meksiko, melainkan di petak ladang Desa Sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Laki-laki tua itu berdiri di lahan yang ditumbuhi sayuran. Kaos putihnya belepotan tanah, menutupi seluruh lengan hingga pergelangan tangan. Celana panjangnya dilipat hingga di bawah lutut, sementara topi ia kenakan untuk melindungi kepala dari terik matahari.
Dia mestinya tak perlu lagi ke kebun sayur. Mengingat hasil dari ternak dombanya, cukup untuk membangun rumah, menghidupi anak-anaknya atau kebutuhan harian lainnya. Tapi namanya cinta, kan perkara lain.
Nah, sebagaimana Santiago pada laut, saya menduga begitu pula perasaan laki-laki ini kepada tanah. Cangkul tetap tak bisa ditanggalkan sebagaimana Santiago kepada jaring ikan.
Yang saya ceritakan ini namanya Emi. Emi tetap ke kebun sayur meski hasil dari ternaknya sudah lebih dari cukup. Sekalipun, yang ia garap itu bukan lahannya sendiri. Ya artinya, dia tak punya lahan dan kini jadi buruh tani.
2015 saya menjumpainya, di lahan milik orang yang terletak di kawasan bagian bawah desa Sarongge. Geraknya masih gesit ketika menggemburkan lahan--mungkin terlihat 10 tahun lebih muda dari usianya, berarti, saat-saat lahan masih ia miliki.
Lahan miliknya dulu, masuk wilayah konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Itu pula sebab mula hijrahnya Emi, dari bertani menuju berternak.
Okei, meski ya, belakangan lantas kita tahu tak kaffah pula perpindahan itu. Dia tetap saja senang berkebun kendati sudah dapat hasil melimpah dari beternak.
Jadi ceritanya awal 2012, Taman Nasional punya program penghijauan kembali kawasan konservasi. 10 petak lahan garapan Emi masuk sasaran program. Maka mau tak mau, dia harus merelakan lahan seluas 4.000 meter persegi yang rutin ia tanami sayur itu, jadi areal adopsi pohon.
"Yaa, diminta sama taman nasional, kan itu mau diasrikan lagi katanya, dibuat hutan lindung. Ya mau nggak mau saya turun, biar semua selamat sampai anak cucu," kenang Emi.
Turun yang ia maksud adalah tak lagi menggarap lahan di lereng gunung. Turun dari lereng gunung.
Penanaman pohon atau reboisasi atau penghijauan itu, berguna menghutankan kembali lereng Gunung Pangrango yang botak. Sebagai ganti lahan, pemerintah yang saat itu Presidennya adalah Susilo Bambang Yudhoyono menukar dengan uang bantuan.
Bukan Emi saja, ada puluhan petani lain. Sesudahnya, dimulailah babak baru kehidupan Emi. Duit bantuan digunakan untuk bikin kandang dan membeli domba betina.
"Nggak tahu kenapa Bapak pilih domba. Karena senang saja itu. Sudah nasib saya berjodoh dengan domba."
Untung saya tak membalas: nasib itu, Pak, adalah kesunyian masing-masing.
Pasase Chairil Anwar barusan boleh jadi berlaku bisa juga tidak. Tapi yang jelas, hidup Emi setelah ditemani kawanan domba itu kian ramai. Ia pun cepat dikenal warga kampung tetangga karena kualitas dombanya.
Berbekal kabar dari mulut ke mulut, bandar domba kerap menyambanginya.
"Banyak yang tanya: kumaha, Mang? Domba ini dulunya jelek dari saya, sekarang jadi gemuk besar begini?”
Yang ditanya hanya senyum. Emi mengaku tak ada ilmu pasti dalam mengurus domba. Ia, hanya mencintai dombanya. Saya juga tak bisa menerjemahkan pasti jawaban itu.
"Yang penting domba makan. Mau hujan mau gimana nggak jadi soal, biar hujan bapak juga tetap nyari rumput," sambungnya. Kalau hanya hujan lebat dan petir, itu perkara sepele di tengah rutinitasnya merumput.
Lelaki yang tak lagi ingat kapan ia lahir itu, akan terus mengenang keputusan turun gunung dan beralih mata pencaharian. Ia bilang, turun gunung adalah salah satu pilihan berat dalam hidupnya. Meski, kini masa itu sudah lewat.
Keberanian Emi meninggalkan cinta pertamanya, menurut saya, tak lantas menggerus si first love itu kan. Kita tahu Emi tetap akan mencari tanah. Justru, ia melahirkan cinta baru, domba-dombanya. Hehehe.
Kadang-kadang, urusan cinta itu bisa jadi pelik bisa jadi nggak pelik-pelik amat ya. Apasih. Ya gitu, saya mah inginnya tidak rumit-rumit amat berpikir, yang penting mah yah yaudah lah dilakoni weh kayak Pak Emi. Apakah bagi Emi, rasanya meninggalkan tanah itu seperti melepas kekasih yang dicintai? Merelakan dia yang membuat kita selalu senang bangun esok harinya lalu esok harinya lagi lalu... ah.. elahh
***
Grup pesan instan juga media sosial sedang ramai kabar Ahok yang menggugat cerai Vero, istrinya. Sebagian orang mendadak jadi pengamat dan penasihat sobat cinta-cintaan tanpa diminta, sebagian lain mendoakan seolah mengerti yang terbaik, beberapa lagi berpura-pura bodoamat tapi tetap kepo dan, banyak juga sih saya rasa yang, betul-betul bodoamat atau mungkin tepatnya yaudasih biarin weh--ya karena dapur harus ngepul, mikir besok mau makan apa, atau ladang jagungnya yang sedang diserang ulat hijau atau, ketar-ketir backhoe tiba-tiba menghantam rumah mereka. Hidup, harus terus diberangkatkan, ik. Dah ah, bye.
Komentar
Posting Komentar