Racun
Beberapa hal kelewat tak berarti jika terlalu lama dipikirkan. Saya berharap punya keahlian kurasi apa-apa dalam pikir, mana yang mestinya dibiarkan tinggal dan, mana yang dilepaskan. Menurut seorang kawan, sementara ini kesaktian saya baru tahap membangun tembok yang tak kelihatan, jangan harap dulu lah kalau soal keruwetan pikir. Itu, masih awet.
Istilah kontemporer menyebutnya baper, bawa perasaan. Lantas saya bertanya--pada diri saya sendiri--memang kapan manusia tak membawa perasaannya? Saat bekerja pun bahkan seringkali demikian bukan? Meski, semestinya tidak selalu begitu.
Saya teringat pesan pendek karib saya yang, mengingatkan tentang cara mengelola hubungan dengan orang yang beracun. Dia menyarankan agar saya menjaga jarak dari yang demikian. Racun, kata dia, kadang bagus tapi tak jarang pula membikin pertahanan lemah.
Lalu bagaimana golongan yang beracun itu? Salah satunya, kalau bagi saya, mereka yang punya mulut berbisa dan hampir pasti selalu berkomentar hal-hal buruk bahkan saat kita dalam masalah. Mungkin orang seperti ini akan selalu ada, tapi jarang yang betah berlama-lama di sekitarnya. Mungkin ya, saya juga bisa jadi salah.
Jadi ya, kalaupun tak bisa membantu maka setidaknya dukunglah kawanmu itu. Kalau nggak bisa nyapu, maka nggak usah nambah kotor. Dan, jika berlaku suportif adalah permintaan yang kelewat susah, ya maka cukup tak perlu menyebarkan energi negatif.
"Coba dimaklumi, nggak usah terlalu direspons. Mungkin hari-harinya buruk jadi dia begitu, jangan terpengaruh," tulisnya dalam balasan pesan pendek pada saya.
Dan, menjaga jarak adalah salah satu kemahiran saya. Mungkin saya akan memulainya.
Kawan yang saya hubungi itu, adalah satu dari beberapa karib saya yang selalu saya kontak atau kadang begitu saja tanpa sengaja menghubungi--ndilalah kok biasanya pas saat saya rongseng. Seperti ada pertanda, tiba-tiba saja pesan pendek darinya masuk ke telepon genggam tiap kali saya jumud. Kalau sudah begini kan, bagaimana saya bisa menyangkal bahwa Yang Maha Kuasa begitu dekat. Subhanallah.
Di dunia ini, ada yang menemani hanya saat kita dilingkupi kesenangan, ada pula yang hadir kala kita dirundung masalah, tapi ada juga yang tetap tinggal baik saat gembira ataupun gundah. Kawan saya ini golongan yang ketiga. Dan, dia menyenangkan, dan tenang, dan jernih dan, begitulah.
Selain racun, adalah ia yang disebut moral. Hal yang kerap dijadikan ukuran, namun sejatinya sulit ditakar. Beberapa pihak membikin--kalau tak boleh menyebut membikin-bikin--standar yang tak jelas. Kadang-kadang sekelompok orang membuat kesepakatan, mengacu pada apa yang mereka yakini. Dan yang jadi masalah, mereka lantas ingin hal itu diterapkan atau diyakini juga oleh kelompok lain.
Saya jadi ingat apa yang dibilang Ariel Heryanto soal imaji atau obsesi atau, angan-angan untuk menjadi yang paling asli, yang paling ideal, yang paling baik. Dengan banyak versi. Masing-masing.
Juga misalnya, merasa yang paling indie. Atau juga, yang paling folk. Weqeqeqe.
Padahal yang begituan, termasuk moral, bukankah sebetulnya sangat cair? Dan, karena itu mestinya jadi tak valid jika ia jadi alat ukur. Makin pelik ketika sebagian pihak merasa punya kompetensi untuk mengukur itu, lalu menjadi pengingat--bahkan kebablasan menjadi penjaga--moral yang lain. Yauda sih ngga papa juga. Yang beginian mungkin bisa kita sikapi dengan: bodoamat.
Saat itulah, laku dan cara bicara saya jadi penting. Pakaian yang saya kenakan pun seolah harus padan dengan sikap. Kemudian, pantas dijadikan timbangan tak kelihatan atas laku harian saya. Masyaallah.
"Berjilbab kok ngomongnya kasar? Pakai jilbab kok ..."
Sekiranya saya bisa menjawab panjang yah. Tapi biasanya saya akan merengut atau, berusaha menanggapi dengan senyum Anies Baswedan. Betewe, semalam saya mimpi, Pak Manan membelikan saya gaun dengan ikatan setipis tali BH pada bagian bahu. Panjangnya, tak sampai selutut. Apa hubungannya? Enggak tahu. Hahaha. Jadi begitulah random malam ini menjelang Pilpres 2019. Bye.
Istilah kontemporer menyebutnya baper, bawa perasaan. Lantas saya bertanya--pada diri saya sendiri--memang kapan manusia tak membawa perasaannya? Saat bekerja pun bahkan seringkali demikian bukan? Meski, semestinya tidak selalu begitu.
Saya teringat pesan pendek karib saya yang, mengingatkan tentang cara mengelola hubungan dengan orang yang beracun. Dia menyarankan agar saya menjaga jarak dari yang demikian. Racun, kata dia, kadang bagus tapi tak jarang pula membikin pertahanan lemah.
Lalu bagaimana golongan yang beracun itu? Salah satunya, kalau bagi saya, mereka yang punya mulut berbisa dan hampir pasti selalu berkomentar hal-hal buruk bahkan saat kita dalam masalah. Mungkin orang seperti ini akan selalu ada, tapi jarang yang betah berlama-lama di sekitarnya. Mungkin ya, saya juga bisa jadi salah.
Jadi ya, kalaupun tak bisa membantu maka setidaknya dukunglah kawanmu itu. Kalau nggak bisa nyapu, maka nggak usah nambah kotor. Dan, jika berlaku suportif adalah permintaan yang kelewat susah, ya maka cukup tak perlu menyebarkan energi negatif.
"Coba dimaklumi, nggak usah terlalu direspons. Mungkin hari-harinya buruk jadi dia begitu, jangan terpengaruh," tulisnya dalam balasan pesan pendek pada saya.
Dan, menjaga jarak adalah salah satu kemahiran saya. Mungkin saya akan memulainya.
Kawan yang saya hubungi itu, adalah satu dari beberapa karib saya yang selalu saya kontak atau kadang begitu saja tanpa sengaja menghubungi--ndilalah kok biasanya pas saat saya rongseng. Seperti ada pertanda, tiba-tiba saja pesan pendek darinya masuk ke telepon genggam tiap kali saya jumud. Kalau sudah begini kan, bagaimana saya bisa menyangkal bahwa Yang Maha Kuasa begitu dekat. Subhanallah.
Di dunia ini, ada yang menemani hanya saat kita dilingkupi kesenangan, ada pula yang hadir kala kita dirundung masalah, tapi ada juga yang tetap tinggal baik saat gembira ataupun gundah. Kawan saya ini golongan yang ketiga. Dan, dia menyenangkan, dan tenang, dan jernih dan, begitulah.
Selain racun, adalah ia yang disebut moral. Hal yang kerap dijadikan ukuran, namun sejatinya sulit ditakar. Beberapa pihak membikin--kalau tak boleh menyebut membikin-bikin--standar yang tak jelas. Kadang-kadang sekelompok orang membuat kesepakatan, mengacu pada apa yang mereka yakini. Dan yang jadi masalah, mereka lantas ingin hal itu diterapkan atau diyakini juga oleh kelompok lain.
Saya jadi ingat apa yang dibilang Ariel Heryanto soal imaji atau obsesi atau, angan-angan untuk menjadi yang paling asli, yang paling ideal, yang paling baik. Dengan banyak versi. Masing-masing.
Juga misalnya, merasa yang paling indie. Atau juga, yang paling folk. Weqeqeqe.
Padahal yang begituan, termasuk moral, bukankah sebetulnya sangat cair? Dan, karena itu mestinya jadi tak valid jika ia jadi alat ukur. Makin pelik ketika sebagian pihak merasa punya kompetensi untuk mengukur itu, lalu menjadi pengingat--bahkan kebablasan menjadi penjaga--moral yang lain. Yauda sih ngga papa juga. Yang beginian mungkin bisa kita sikapi dengan: bodoamat.
Saat itulah, laku dan cara bicara saya jadi penting. Pakaian yang saya kenakan pun seolah harus padan dengan sikap. Kemudian, pantas dijadikan timbangan tak kelihatan atas laku harian saya. Masyaallah.
"Berjilbab kok ngomongnya kasar? Pakai jilbab kok ..."
Sekiranya saya bisa menjawab panjang yah. Tapi biasanya saya akan merengut atau, berusaha menanggapi dengan senyum Anies Baswedan. Betewe, semalam saya mimpi, Pak Manan membelikan saya gaun dengan ikatan setipis tali BH pada bagian bahu. Panjangnya, tak sampai selutut. Apa hubungannya? Enggak tahu. Hahaha. Jadi begitulah random malam ini menjelang Pilpres 2019. Bye.
Komentar
Posting Komentar