Edit
Setiap manusia, tiap-tiap jiwa yang saya temui punya versi cerita masing-masing. Dan, tiap-tiap diri punya kuasa untuk mengedit cerita sesuai kebutuhan, sesuai kepentingan. Karena itu, tak ada alasan bagi saya untuk betul-betul percaya pada sebuah cerita, satu kisah, apalagi kalau hanya modal mulut manusia.
Orang, bisa sesuka hati bercerita padamu tentang hidupnya yang berlarat-larat. Atau, soal kebenciannya terhadap orang lain sambil sibuk melulu menyalahkan semua hal di luar dirinya. Saya menduga, itu semata untuk keperluan melanjutkan hidupnya belaka.
Dan memang, cara gampang menyelesaikan perkara selama masih di dunia ini kan, bukankah dengan menyalahkan pihak ketiga?
Tapi, ada juga, manusia yang mengutuki diri sendiri seraya menganggap yang terjadi di muka bumi ini seluruhnya perlu ia selamatkan. Meski, ia tahu dirinya bukan resi atau nabi. Dan, yang harus diketahui orang macam itu adalah, tugas menyelamatkan bumi beserta isinya itu, berat. Termasuk mungkin bagi Dilan--tokoh dalam novel bikinan Pidi Baiq--yang selama ini dikenal sebagai pemuda yang menganggap rindulah yang berat.
Oke. Problemnya, saya--atau mungkin kita--hidup di belantara manusia yang dibekali kemampuan mengedit cerita. Sehingga narasi muncul tumpang tindih lagi bising. Kalau sudah begini, saya percaya, bahwa Maha Benar Allah dengan segala firmannya.
Memang betul ya, manusia itu biang perkara. Jadi ada baiknya kutukan jadi batu, kodok atau tumbuh-tumbuhan itu berlaku juga bagi umat di dunia. Selain agar populasi manusia berkurang, rasa-rasanya biar dunia nggak terlalu berisik sama bacotan. Alam dan sekitarnya ini terhindarkan dari pihak yang saling silang mengaku paling benar, terdepan berjuang, berdarah-darah punya pengorbanan atau, yang paling berjasa bagi liyan.
Tapi ya, yang lempeng saja kan cuma jalan tol. Karena ini hidup, maka mungkin keberagaman dan kebisingan itu, perlu. Biar apa? Biar kita ingat akan jeda, merenung, leren, ngaso dan kata pengganti lain yang seirama. Selain juga, biar kita mikir dan berlatih memilah.
Wassalam. Wallahu a'lam bishawab.
Orang, bisa sesuka hati bercerita padamu tentang hidupnya yang berlarat-larat. Atau, soal kebenciannya terhadap orang lain sambil sibuk melulu menyalahkan semua hal di luar dirinya. Saya menduga, itu semata untuk keperluan melanjutkan hidupnya belaka.
Dan memang, cara gampang menyelesaikan perkara selama masih di dunia ini kan, bukankah dengan menyalahkan pihak ketiga?
Tapi, ada juga, manusia yang mengutuki diri sendiri seraya menganggap yang terjadi di muka bumi ini seluruhnya perlu ia selamatkan. Meski, ia tahu dirinya bukan resi atau nabi. Dan, yang harus diketahui orang macam itu adalah, tugas menyelamatkan bumi beserta isinya itu, berat. Termasuk mungkin bagi Dilan--tokoh dalam novel bikinan Pidi Baiq--yang selama ini dikenal sebagai pemuda yang menganggap rindulah yang berat.
Oke. Problemnya, saya--atau mungkin kita--hidup di belantara manusia yang dibekali kemampuan mengedit cerita. Sehingga narasi muncul tumpang tindih lagi bising. Kalau sudah begini, saya percaya, bahwa Maha Benar Allah dengan segala firmannya.
Memang betul ya, manusia itu biang perkara. Jadi ada baiknya kutukan jadi batu, kodok atau tumbuh-tumbuhan itu berlaku juga bagi umat di dunia. Selain agar populasi manusia berkurang, rasa-rasanya biar dunia nggak terlalu berisik sama bacotan. Alam dan sekitarnya ini terhindarkan dari pihak yang saling silang mengaku paling benar, terdepan berjuang, berdarah-darah punya pengorbanan atau, yang paling berjasa bagi liyan.
Tapi ya, yang lempeng saja kan cuma jalan tol. Karena ini hidup, maka mungkin keberagaman dan kebisingan itu, perlu. Biar apa? Biar kita ingat akan jeda, merenung, leren, ngaso dan kata pengganti lain yang seirama. Selain juga, biar kita mikir dan berlatih memilah.
Wassalam. Wallahu a'lam bishawab.
Komentar
Posting Komentar