Perkenalan
Sebulan ini saya menerima tawaran kawan senior untuk membuat profil beberapa orang. Sebelum menyusun tulisan, saya terlebih dulu membaca rekam jejak orang-orang itu, komentar masing-masing orang terhadap suatu masalah, buah pikir atau gagasan yang sebagian mereka tuangkan dalam esai. Kalau masih kurang, ya melakukan wawancara atau ngobrol tipis-tipis dengan orang yang dekat dengan profil yang hendak saya tuliskan.
Ada beberapa yang sudah saya kenal dan dengar sebelumnya. Tapi sebagiannya juga merupakan nama-nama asing yang, kemudian membuat saya harus menggali dan stalking agak keras. Sebab kadang, cerita tentang beberapa nama tak saya temukan di mesin pencari raksasa google. Bukan karena mereka tak hebat, sama sekali bukan. Ini cuma perkara cerita beberapa dari mereka belum pernah dituliskan atau belum jadi 'makanan' media massa.
Atau juga, soal momentum. Belum ada cantolan yang membuat nama mereka harus muncul di media mainstream kalau bukan viral di medsos.
Padahal, kerja-kerja mereka sungguh tak main-main. Nyaris setiap nama yang saya gali cerita dan perjalanannya itu punya keseriusan di bidangnya masing-masing. Dan sial--bagi saya, beberapa di antaranya justru jarang betul update di medsos instagram atau twitter. Sial karena artinya saya harus berusaha lebih gigih untuk mengenali.
Jadi saya kira, selebrasi juga publisitas atas kerja-kerja orang yang macam itu hanya bisa dirasakan kalau kita bertemu langsung dengan mereka atau, orang-orang yang mereka sentuh langsung, biasanya kelompok akar rumput.
Pada hari lewat deadline pula, Anas--wartawan senior yang juga bekas Ketua AJI Bojonegoro--berpulang. Saya sempat mendengar namanya dan ingin berkenalan, tapi kami tak berjodoh hingga ia lebih dulu dipanggil tuhan. Barangkali, Anas juga jadi salah satu orang seperti mereka yang sedang saya tulis ceritanya. Ia senang menghadapi dan melakoni hidup dengan segala rikuh masalah. Karena ketulusan laku dan kerja, sebagian orang dirindukan. Kalau mereka mati, bukan saja jadi tangisan tapi menyisakan penyesalan. Setidaknya begitu yang saya rasakan terhadap kepergian Mas Anas, saya menyesal dia pulang sebelum sempat saya mengenalnya.
Apakah demikian juga nanti kematian saya? Kayaknya sih enggak. Hehe.
Ada beberapa yang sudah saya kenal dan dengar sebelumnya. Tapi sebagiannya juga merupakan nama-nama asing yang, kemudian membuat saya harus menggali dan stalking agak keras. Sebab kadang, cerita tentang beberapa nama tak saya temukan di mesin pencari raksasa google. Bukan karena mereka tak hebat, sama sekali bukan. Ini cuma perkara cerita beberapa dari mereka belum pernah dituliskan atau belum jadi 'makanan' media massa.
Atau juga, soal momentum. Belum ada cantolan yang membuat nama mereka harus muncul di media mainstream kalau bukan viral di medsos.
Padahal, kerja-kerja mereka sungguh tak main-main. Nyaris setiap nama yang saya gali cerita dan perjalanannya itu punya keseriusan di bidangnya masing-masing. Dan sial--bagi saya, beberapa di antaranya justru jarang betul update di medsos instagram atau twitter. Sial karena artinya saya harus berusaha lebih gigih untuk mengenali.
Jadi saya kira, selebrasi juga publisitas atas kerja-kerja orang yang macam itu hanya bisa dirasakan kalau kita bertemu langsung dengan mereka atau, orang-orang yang mereka sentuh langsung, biasanya kelompok akar rumput.
Pada hari lewat deadline pula, Anas--wartawan senior yang juga bekas Ketua AJI Bojonegoro--berpulang. Saya sempat mendengar namanya dan ingin berkenalan, tapi kami tak berjodoh hingga ia lebih dulu dipanggil tuhan. Barangkali, Anas juga jadi salah satu orang seperti mereka yang sedang saya tulis ceritanya. Ia senang menghadapi dan melakoni hidup dengan segala rikuh masalah. Karena ketulusan laku dan kerja, sebagian orang dirindukan. Kalau mereka mati, bukan saja jadi tangisan tapi menyisakan penyesalan. Setidaknya begitu yang saya rasakan terhadap kepergian Mas Anas, saya menyesal dia pulang sebelum sempat saya mengenalnya.
Apakah demikian juga nanti kematian saya? Kayaknya sih enggak. Hehe.
Komentar
Posting Komentar