Patah Hati
Malam ini saya merasa bersalah sekaligus remuk hati. Entah apa hubungan langsung dengan saya, tapi ada yang growong setelah menggenapi hari ini. Mulanya dari kabar tentang Tuti Tursilawati.
Melalui pesan singkat saya beroleh berita, buruh migran perempuan itu dipancung pada Senin 29 Oktober 2018 pukul 7 pagi waktu Saudi. Hakim di persidangan Saudi memutus Tuti bersalah karena tuduhan pembunuhan berencana. Dalam sistem hukum di negara itu, pembunuhan berencana masuk jenis had ghillah, kejahatan yang tak bisa dimaafkan oleh siapapun. Karena itu, ia divonis mati.
Tuti, saat proses pemeriksaan, mengakui bila ia membunuh ayah majikannya. Tapi yang diabaikan hakim Saudi, pembunuhan terjadi karena Tuti membela diri. Ia, hendak diperkosa. Sebelum itu, ia juga dilecehkan berkali-kali.
Saya, tak pernah tahu bagaimana kelak akan mati. Tapi memang ada beberapa manusia yang tahu cara-cara mereka mati. Selayaknya kakidashi pada salah satu cerpen Yusi: Maut itu rahasia. Tapi tidak selalu begitu. Beberapa orang tahu kapan dan bagaimana kematiannya tiba.
Begitu yang dialami Tuti Tursilawati.
Saya tak mengenal perempuan asal Cikeusik, Majalengka yang, sejak 2010 bekerja di Arab Saudi. Tapi, berkali-kali saya mengumpat ketika tahu ia dipancung oleh algojo pemerintah Arab Saudi tanpa pemberitahuan atau notifikasi ke negara asal Tuti alias Indonesia.
Dan, yang lebih bikin nyeri, Tuti dianggap bersalah saat dia sedang mempertahankan apa yang ia yakini memang patut dipertahankan.
Tentu brengsek, sudah lagi bekerja dengan rimbun ancaman, masih pula saat berusaha membela diri malah dibilang melakukan kejahatan.
Tuti, seperti halnya orang miskin lainnya, tak punya banyak pilihan. Bahkan ketika sudah di posisi kalah dan berusaha melawan, lalu bangkit dan menolak takluk, hingga akhirnya hanya benar-benar bisa pasrah. Apa mungkin memang selalu begitu? Harus kalah berkali-kali?
*****
Pada hari yang sama, di tengah kabar kematian Tuti muncul, saya sedang melihat laman Haydar Salis--aktor baru yang saya kagumi karena kemahirannya memerankan sosok pria matang dan tenang, selain juga, tersebab rambut berantakan yang tumbuh di sekitaran muka. Tapi seketika saya lungkrah, tak bersemangat melihat Haydar Salis, betapapun menariknya ia hari itu. Dan entah kenapa saya merasa hina dan tak pantas untuk memikirkan hal-hal remeh temeh duniawi. Bila mengingat, duka yang, barangkali berhari bahkan berpekan bakal melingkupi keluarga Tuti. Bila dijejerkan dengan, hari-hari sebelum kematian Tuti menolak kalah.
Sugeng tindak, Mbak Tuti.
Melalui pesan singkat saya beroleh berita, buruh migran perempuan itu dipancung pada Senin 29 Oktober 2018 pukul 7 pagi waktu Saudi. Hakim di persidangan Saudi memutus Tuti bersalah karena tuduhan pembunuhan berencana. Dalam sistem hukum di negara itu, pembunuhan berencana masuk jenis had ghillah, kejahatan yang tak bisa dimaafkan oleh siapapun. Karena itu, ia divonis mati.
Tuti, saat proses pemeriksaan, mengakui bila ia membunuh ayah majikannya. Tapi yang diabaikan hakim Saudi, pembunuhan terjadi karena Tuti membela diri. Ia, hendak diperkosa. Sebelum itu, ia juga dilecehkan berkali-kali.
Saya, tak pernah tahu bagaimana kelak akan mati. Tapi memang ada beberapa manusia yang tahu cara-cara mereka mati. Selayaknya kakidashi pada salah satu cerpen Yusi: Maut itu rahasia. Tapi tidak selalu begitu. Beberapa orang tahu kapan dan bagaimana kematiannya tiba.
Begitu yang dialami Tuti Tursilawati.
Saya tak mengenal perempuan asal Cikeusik, Majalengka yang, sejak 2010 bekerja di Arab Saudi. Tapi, berkali-kali saya mengumpat ketika tahu ia dipancung oleh algojo pemerintah Arab Saudi tanpa pemberitahuan atau notifikasi ke negara asal Tuti alias Indonesia.
Dan, yang lebih bikin nyeri, Tuti dianggap bersalah saat dia sedang mempertahankan apa yang ia yakini memang patut dipertahankan.
Tentu brengsek, sudah lagi bekerja dengan rimbun ancaman, masih pula saat berusaha membela diri malah dibilang melakukan kejahatan.
Tuti, seperti halnya orang miskin lainnya, tak punya banyak pilihan. Bahkan ketika sudah di posisi kalah dan berusaha melawan, lalu bangkit dan menolak takluk, hingga akhirnya hanya benar-benar bisa pasrah. Apa mungkin memang selalu begitu? Harus kalah berkali-kali?
*****
Pada hari yang sama, di tengah kabar kematian Tuti muncul, saya sedang melihat laman Haydar Salis--aktor baru yang saya kagumi karena kemahirannya memerankan sosok pria matang dan tenang, selain juga, tersebab rambut berantakan yang tumbuh di sekitaran muka. Tapi seketika saya lungkrah, tak bersemangat melihat Haydar Salis, betapapun menariknya ia hari itu. Dan entah kenapa saya merasa hina dan tak pantas untuk memikirkan hal-hal remeh temeh duniawi. Bila mengingat, duka yang, barangkali berhari bahkan berpekan bakal melingkupi keluarga Tuti. Bila dijejerkan dengan, hari-hari sebelum kematian Tuti menolak kalah.
Sugeng tindak, Mbak Tuti.
Komentar
Posting Komentar