Buka-Tutup Tab Percakapan

Ibu kota sedang hujan. Tentu, tanah basah dan genangan air di mana-mana. Orang bilang, bau hujan awal musim mengundang beberapa manusia menjajaki kenangan-kenangan yang tak perlu. Atau, tak semestinya hadir. Tapi kenangan kan, tak seperti ingatan yang bisa diedit atau pilih sesuka pemilik.

Kenangan, konon, punya kewenangan melebihi ingatan, ia bisa muncul kapan saja. Dan, bersemayam sesukanya tanpa tenggat sonder kuasa empunya untuk melakukan perlawanan.

Sesungguhnya saya tak yakin kalimat-kalimat di atas itu betulan demikian, atau sebenarnya hanya dibuat-buat supaya bisa muncul pemakluman bagi pembaca: bahwa, oh kenangan itu muncul karena hujan. Oh, hujan membuat beberapa hal jadi melankolis. Dan sebagainya dan seterusnya. Saya pikir, perlu ada studi yang bisa membuktikan betulkah hujan itu membikin manusia merenungi kondisi yang lampau, sumber inspirasi atau juga, jadi waktu terbaik untuk menyusun kerangka karya dll.

Oke. By the way,

Setidaknya bagi saya, air tengara awal musim penghujan ini manjur menguarkan sebuah momen.

Malam itu, kita berdua mabuk. Seperti kebanyakan orang mabuk, mereka abai dengan realita dunia dan menyintas ke ruang lain yang seolah lebih membebaskan. Dan barangkali kita seperti itu, sebelum tersadarkan dan kembali ke norma-norma yang membelenggu.

"Bagaimana pasanganmu?" Kujawab, sedang pergi. Dan perempuanmu? tanyaku.

"Ia tak tahu." katamu sambil memainkan rambutku. Perlukah kuberi tahu? aku menawarkan padamu. "Jangan, tak semua ia perlu tahu." Aku menurut.

Saat itu kau dan pasanganmu sedang berbeda pulau. Tiba-tiba aku mengingat Marno dan Jane dalam cerita 1000 Kunang-Kunang di Langit Manhattan. Sial.

Tak kau ceritakan bagaimana kau punya perempuan, selain juga aku tak tertarik bertanya lebih jauh apalagi mendengar. Begitu juga denganmu.

Pagi seperti lebih cepat datang. Katanya begitu, kalau menyenangkan, waktu terasa demikian ringkas. Kala itu, aku seperti tak ingin kehilangan malam. Sebab bila tiba terang, kau harus berkejaran dengan kendaraan yang akan membawamu pulang.

***

Setelah perjalanan udara selang beberapa jam, ditambah kesadaran. Kita sudah bukan apa-apa lagi, bukan siapa-siapa.

Kalau tahu begini, kadang-kadang aku menginginkan, lebih baik aku mabuk saja lebih lama.

***

Hujan masih awet, kenangan tentang kita berdua yang mabuk pun, entah pula sampai kapan kan tinggal.

Tab percakapan denganmu kubuka-tutup, aku mengetikkan beberapa kalimat yang kemudian kuhapus lagi. Urung kukirim. Hingga beberapa kali dan, berakhir dengan menyimpan semua kalimat juga niat bertanya.

Sesukar inikah menyintas? Bahkan soal relasi dengan manusia yang, sesungguhnya tak serius-serius amat mulanya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.