Dengan Apa Semestinya Kita Mengisi Ruang-Ruang Intim?
Saya merasa angin Jakarta tak bersahabat di kulit, bukan perkara banyak asap dan printilannya itu. Tapi berasa nggak pas saja, mungkin tersebab peralihan cuaca, mungkin juga karena tubuh sedang tak sesehat biasanya. Saya sedang dalam kondisi yang, dalam Bahasa Jawa disebut: gemreges.
Bapak-bapak melintas, jalannya pincang, di bahu kirinya melintang sebuah kayu yang menanggung beban dua kotak pada masing-masing ujungnya. Mas-mas berkumis yang, kaos dan sepatunya berkelir senada hijau toska menata snare drum, cymbal, juga piranti lain di sudut sebuah warung kopi. Mas-mas lain terlihat menyunggi nampan, mengantar pesanan ke meja-meja pelanggan.
Dalam perjalanan sebelum sampai ke warung kopi ini, ketika melintas di Jalan Kwini kawasan Senen Jakarta, saya bersisian dengan iring-iringan pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1. Sesaat sebelum sampai ke warung kopi langganan ini, saya juga menyempatkan singgah ke kios babeh di seputaran Menteng dan, dari tempat saya duduk sesekali terdengar seruan bergabung dari pendukung pasangan calon nomor 2.
Ibukota tetap sibuk, meski ini akhir pekan. Saya menganggit, apa nggak mending orang-orang pada istirahat total saja, sebab esok pagi kan harus kembali memburuh atau melakukan rutinitas lain.
"Nggak tahu, aku nggak ngikutin."
Kawan makan malam saya bertanya setelah ia menelan pasta-berbumbu-sapi-panggang-dengan-selimut-omlete-setipis-kain-satin-dan-siraman-mayones-keju. Saya menjawab setelah mengunyah nasi-kari-yang-diselingi-potongan-ayam-dan-siraman-mozarella.
"Kejunya enak, tapi nasinya manis, nggak ada pedes-pedesnya," sambung saya setengah menggerutu sambil tetap mengunyah.
Saya terang-terangan soal rasa masakan yang aneh, tapi bohong soal tak mengikuti berita Pilpres. Rekam jejak obrolan tak menyenangkan lintas, lalu memicu saya untuk tak lagi berselera meneruskan diskusi mengenai calon-calon kita. Saya cuma nggak mau kehilangan suasana hangat.
Meski, mestinya tak begitu. Masing-masing calon harus didedah betul-betul rencana kerjanya, blejeti gagasannya, gali rekam jejaknya, termasuk, aliran harta kekayaannya. Yang terakhir ini untuk memastikan, dari mana duit dan bagaimana proses yang dilalui untuk mendapatkan itu. Kenapa perlu tahu? Ini karena boleh jadi kelak, siapapun yang jadi, bakal mengelola kita, mengelola rakyat, berserta duit rakyat tentu saja.
Celakanya, yang terjadi seringkali kebencian kadung merasuk duluan dan bikin rentetan yang saya jelaskan di atas tak lagi berguna. Akhirnya yang terjadi hanyalah pembelaan membabi buta dari masing-masing pendukung. Pertanyaan kritis dianggap menyerang, kritik disangka nyinyir.
Kalau begini, saya ingin rasanya mengutip kalimat di lagu Mas Danto Sisir Tanah: Tuan dan Nyonya belajar logika sudah sampai mana?
Ini terjadi pula di percakapan grup-grup whatsapp, utamanya di grup keluarga. Kalau yang disebar adalah hoaks atau kabar bohong, orang yang mengingatkan salah-salah justru dicap membela blok lawan. Kondisi malah kian runyam.
Saya, lebih menikmati mereka bertukar-kabar atau bicara remeh-temeh harian tentang kondisi sawah yang hampir panen, masak apa hari ini, atau bagaimana kabar tetangga sebelah, pohon mangga yang tak jadi ditebang atau, kenapa bakul tahu bumbu terenak di desa tak lagi berjualan, dan sebagainya dan seterusnya. Dibanding, membicarakan politik yang belakangan lebih mirip opera kesumat.
Minggu malam 17 Februari 2019 itu, adalah waktu debat kedua pasangan calon presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto. Kedua calon beradu gagasan--kalau tak boleh disebut adu mulut--soal energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam dan, lingkungan hidup. Wajar bila kawan makan malam bertanya soal Pilpres, tapi saya sedang malas berdiskusi soal pemilihan umum.
Fanatisme buta ditambah bumbu kebencian yang meruap dari sebagian pendukung, berpotensi bikin obrolan tak lagi nyaman. Saya memilih mengisi perjumpaan dengan bergilir obrol tentang kabar kami, pekerjaan, kegelisahan diri, dan cara-cara menyiasati keseharian--kalau memang perlu disiasati. Mempertebal keintiman. Sehingga, kalaupun toh kelak bicara soal pilihan politik dan, ternyata berbeda, masing-masing dari kami akan menahan sebab kelewat sayang jika mengorbankan tali perkawanan.
Rasa-rasanya ini lebih baik. Yah, ngga tau lah ya.
Komentar
Posting Komentar