Es Krim
K pernah bilang, "Kalau kondisi hatimu sedang buruk, maka cobalah makan es krim."
Saya mengikuti saran K. Sebelumnya sudah pernah menjajal dan, berhasil. Tapi kali ini tidak begitu.
Semangkuk berisi empat scoop--campuran berry, cokelat pekat, krim keju dan green tea--tandas, namun perasaan masih kacau. Sebetulnya yang saya santap itu bukan es krim, melainkan gelato. Teksturnya sedikit lebih pekat, lebih lengket dan, rasanya lebih kuat. Tapi bukan ini masalahnya, sebab saya bukan penggemar es krim garis keras maka selayaknya indra penyecap pun tak bakal mempersoalkan perbedaan antara es krim dan gelato tersebut. Terasa sama saja.
Yang pasti, semangkuk krim dingin itu tak manjur mengatasi hati yang sedang remuk. Saya ingin mengirim pesan ke K, berkeluh. Tapi urung, saya lihat dia sedang bersenang-senang dengan kelas sketsanya dan, saya tak ingin mengganggu.
Saya merasa bisa mengatasi ini sendiri, meski sedikit ragu.
Tak seperti yang saya bayangkan, saya kira segalanya bakal lekas membaik. Kenyataan yang terjadi, rasanya masih tak keruan. Padahal, paginya saya juga sudah keramas pakai shampoo stroberi lho. Hehe. Bagi yang tak mengerti, dalam catatan sebelumnya berjudul Rileks, saya sempat ngoceh tentang hal-hal yang bisa dilakukan untuk menghalau badai batin. Keramas salah satunya, buat saya.
Setelah makan es krim, saya mencoba jalan kaki, menyusur jalur pedestrian seperti biasa. Lalu naik angkutan umum kopaja. Jalan kaki lagi, dan mencari warung kopi yang belum pernah saya kunjungi. Dua warung berjajar, papan-papan yang dipampang di depannya menawarkan pilihan jenis kopi. Saya masuk ke salah satu warung bernuansa merah komunis, lantas memesan Kalosi.
Di bangku yang menghadap jalanan sabang saya merunuti yang terjadi pada diri belakangan ini. Fragmen tentang duka dan melankolia dalam salah satu buku yang saya baca, lintas. Tulisan itu menyinggung esai Sigmund Freud pada 1917 berjudul 'Mourning and Melancholia'. Dia menulis, berduka adalah respons normal terhadap sebuah kehilangan. Baik itu orang yang dicintai, atau subjek lain yang dianggap berharga. Ketika berduka, biasanya secara sadar kita masih bisa mengenali dan mengidentifikasi apa sebabnya. Karena itu pula, berduka jadi punya batas. Kedukaan bisa berangsur mereda ketika seseorang mampu berdamai dengan kehilangan, mengatasinya.
Soal proses berdamai dengan kehilangan ini juga diutarakan seorang psikiatri Amerika, George Engel. Ia bilang, waktu adalah salah satu penentu dalam mengobati duka. Betul sudah.
Barangkali demikian, kehilangan memang tak pernah mudah. Tapi selalu ada waktu, jeda, hingga semua kembali seperti semula. Dan tentu, di tengah itu, beberapa helaan napas panjang, nikotin ditambah kafein, langkah kaki, air mata dan tetek bengek lainnya.
Ini bukan yang pertama dan, tentu bukan pula yang terakhir. Saya pernah mengalami sebelumnya, mengatasi, menyembuhkan lalu muncul lagi. Terus berulang, seperti masalah lain dalam hidup, ia akan datang lagi dan lagi, dan begitu-begitu saja. Yang perlu kita--atau saya--lakukan barangkali adalah modifikasi solusi dan cara mengakali.
Begitulah, mirip lagu Iwan Fals, satu per satu apa-apa yang ada di sekitar kita bakal hilang, digantikan dengan yang baru.
"Waktu terus bergulir, kita kan pergi dan ditinggal pergi... redalah tangis, redalah tawa, redalah reda .... "
Tapi yang selalu jadi pertanyaan saya, apakah tiap-tiap yang hilang pasti bakal tergantikan?
Setiap yang hilang boleh jadi akan terisi dengan yang lain, sesuai hukum alam. Tapi mungkinkah tergantikan? Karena sebagaimana hukum alam lainnya, segala-gala itu tak selalu persis sama. Tak akan. Mungkin begitu, ya.
Saya mengikuti saran K. Sebelumnya sudah pernah menjajal dan, berhasil. Tapi kali ini tidak begitu.
Semangkuk berisi empat scoop--campuran berry, cokelat pekat, krim keju dan green tea--tandas, namun perasaan masih kacau. Sebetulnya yang saya santap itu bukan es krim, melainkan gelato. Teksturnya sedikit lebih pekat, lebih lengket dan, rasanya lebih kuat. Tapi bukan ini masalahnya, sebab saya bukan penggemar es krim garis keras maka selayaknya indra penyecap pun tak bakal mempersoalkan perbedaan antara es krim dan gelato tersebut. Terasa sama saja.
Yang pasti, semangkuk krim dingin itu tak manjur mengatasi hati yang sedang remuk. Saya ingin mengirim pesan ke K, berkeluh. Tapi urung, saya lihat dia sedang bersenang-senang dengan kelas sketsanya dan, saya tak ingin mengganggu.
Saya merasa bisa mengatasi ini sendiri, meski sedikit ragu.
Tak seperti yang saya bayangkan, saya kira segalanya bakal lekas membaik. Kenyataan yang terjadi, rasanya masih tak keruan. Padahal, paginya saya juga sudah keramas pakai shampoo stroberi lho. Hehe. Bagi yang tak mengerti, dalam catatan sebelumnya berjudul Rileks, saya sempat ngoceh tentang hal-hal yang bisa dilakukan untuk menghalau badai batin. Keramas salah satunya, buat saya.
Setelah makan es krim, saya mencoba jalan kaki, menyusur jalur pedestrian seperti biasa. Lalu naik angkutan umum kopaja. Jalan kaki lagi, dan mencari warung kopi yang belum pernah saya kunjungi. Dua warung berjajar, papan-papan yang dipampang di depannya menawarkan pilihan jenis kopi. Saya masuk ke salah satu warung bernuansa merah komunis, lantas memesan Kalosi.
Di bangku yang menghadap jalanan sabang saya merunuti yang terjadi pada diri belakangan ini. Fragmen tentang duka dan melankolia dalam salah satu buku yang saya baca, lintas. Tulisan itu menyinggung esai Sigmund Freud pada 1917 berjudul 'Mourning and Melancholia'. Dia menulis, berduka adalah respons normal terhadap sebuah kehilangan. Baik itu orang yang dicintai, atau subjek lain yang dianggap berharga. Ketika berduka, biasanya secara sadar kita masih bisa mengenali dan mengidentifikasi apa sebabnya. Karena itu pula, berduka jadi punya batas. Kedukaan bisa berangsur mereda ketika seseorang mampu berdamai dengan kehilangan, mengatasinya.
Soal proses berdamai dengan kehilangan ini juga diutarakan seorang psikiatri Amerika, George Engel. Ia bilang, waktu adalah salah satu penentu dalam mengobati duka. Betul sudah.
Barangkali demikian, kehilangan memang tak pernah mudah. Tapi selalu ada waktu, jeda, hingga semua kembali seperti semula. Dan tentu, di tengah itu, beberapa helaan napas panjang, nikotin ditambah kafein, langkah kaki, air mata dan tetek bengek lainnya.
Ini bukan yang pertama dan, tentu bukan pula yang terakhir. Saya pernah mengalami sebelumnya, mengatasi, menyembuhkan lalu muncul lagi. Terus berulang, seperti masalah lain dalam hidup, ia akan datang lagi dan lagi, dan begitu-begitu saja. Yang perlu kita--atau saya--lakukan barangkali adalah modifikasi solusi dan cara mengakali.
Begitulah, mirip lagu Iwan Fals, satu per satu apa-apa yang ada di sekitar kita bakal hilang, digantikan dengan yang baru.
"Waktu terus bergulir, kita kan pergi dan ditinggal pergi... redalah tangis, redalah tawa, redalah reda .... "
Tapi yang selalu jadi pertanyaan saya, apakah tiap-tiap yang hilang pasti bakal tergantikan?
Setiap yang hilang boleh jadi akan terisi dengan yang lain, sesuai hukum alam. Tapi mungkinkah tergantikan? Karena sebagaimana hukum alam lainnya, segala-gala itu tak selalu persis sama. Tak akan. Mungkin begitu, ya.
Komentar
Posting Komentar