Gunarti

"Kami belum kalah. Andaikan kami takluk sekalipun, masih ada kuasa Ibu Bumi. Jika Kehormatan alam semesta ini dijamah lewat pendirian pabrik semen, alam akan bertindak sendiri. Bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo membuktikan Ibu Bumi murka, karena seharusnya dia dirawat agar jadi gemah ripah loh jinawi."

Begitulah jawaban Gunarti ketika jurnalis Majalah Tempo bertanya mengenai, apakah sikap pemerintah yang seolah memberikan lampu hijau untuk pembangunan pabrik semen merupakan bentuk kekalahan warga Kendeng?

Perawakannya memang kecil, tapi soal nyali—apalagi kalau sudah menyoal Ibu Bumi—tak perlu diragukan lagi. Energinya seolah tak habis untuk terus menyuarakan penolakan terhadap tambang dan pabrik semen di Jawa Tengah. Ia ikut mulai dari aksi damai di depan kantor-kantor pemerintahan hingga jalan kaki sejauh ratusan kilometer. Ia, juga hampir pasti selalu hadir ketika ada aksi menagih janji di depan Istana Presiden.

Sosok perempuan yang selalu berkebaya setelan dengan jarik itu tertangkap rekaman video pada Maret 2017 lalu, di tengah isak tangis petani dari deret Pegunungan Kendeng. Saat itu petani Kendeng melakukan aksi pasung kaki untuk yang kesekian kali. Tapi di tengahnya, seorang petani meninggal.

Di tengah kedukaan, Gunarti tampak meyakinkan dan menguatkan rekan-rekannya sesama petani perempuan. Itu malam, salah satu petani peserta aksi, Yu Patmi, berpulang. Dokter mengatakan, Patmi terkena serangan jantung. Petani lain saat itu down. Bagaimana tidak, ada yang meninggalkan mereka untuk selamanya di tengah memuncaknya gerak perlawanan.

Gunarti terlihat kuat kala menyemangati petani lain, tak ada tangis. Meski matanya berkaca. Setiap kali bertemu Mbak Gun, di bening kedua mata itu yang ada keteduhan belaka. Gesturnya menyerupai ajakan untuk rela melepas kepergian Patmi sembari memperpanjang napas perjuangan.

Lakon menolak tambang dan pabrik semen sudah lebih dari 10 tahun dijalani Gunarti. Saat mula pergerakan, ia jadi perempuan satu-satunya yang ikut dalam rapat. Peserta lain, semuanya bapak-bapak. Saat itu, ia yang selalu mengusulkan agar para ibu dilibatkan. Gunarti lantas berkeliling ke tujuh desa untuk menemui para ibu, barisan perempuan lain seraya menjelaskan alasan menolak pabrik semen sekaligus. Getok tular kecemasan akan rusaknya alam itu melahirkan gerakan kelompok perempuan.

Apalagi, perempuan Samin meyakini: tanah dan air adalah kehidupan yang harus digendong, dikeloni dan dijaga mati-matian.

Telaten, Gunarti memberikan pemahaman akan pentingnya air dan tanah bagi kehidupan.

"Kami dididik sejak kecil untuk hidup jadi seorang petani, mendapatkan makan dari ibu bumi, ketika alam rusak maka keturunan kami sengsara," ungkap Gunarti saat diwawancara suara.com pada 2017.

Gerakan penolakan tambang dan pabrik semen di Kendeng meluas. Bukan hanya di daerah asalnya, Pati tetapi juga menjalar ke Rembang, Blora dan Grobogan. Dalam beberapa aksi damai, belakangan muncul ikon Kartini Kendeng. Para petani perempuan ada di barisan depan perlawanan.

Orang percaya, aksi damai yang digawangi perempuan dalam satu rantai panjang perjuangan keadilan di Indonesia inilah yang bakal menghancurkan budaya kekebalan hukum serta impunitas.

Pesan leluhur Sedulur Sikep untuk merawat Ibu Bumi atau alam jadi pegangan Gunarti. Kepercayaan turun-temurun yang ia yakini, Jawa Tengah merupakan lumbung pangan Nusantara. Buyut Kerti Among Tani--leluhur petani seluruh Nusantara--karena itu fungsi daerah tersebut sebagai lumbung pangan harus tetap asri dijaga.

Karena itu bagi  Gunarti, tak semestinya pemerintah memaksakan kehendak dengan membiarkan tambang dan pabrik semen.

"Justru negara harus hadir melindungi hak warga atas tanah tersebut. Dosa apa yang ditanggung negara ini bila membela pabrik semen, sementara rakyatnya malah jadi korban?”

Prinsip Warga Kendeng, adalah membiarkan gunung, laut juga sawah tetap apa adanya seperti ketika diciptakan. "Jangan merasa pintar dan punya uang, lalu seenaknya mengeruk gunung dan menguruk laut." Sebuah nilai yang sejak dulu hingga kini ajek jadi dasar laku Gunarti: tugas manusia sekadar menjaga, merawat dan memanfaatkan alam, bukan malah merusak apalagi mengubah bentang alam. Keyakinan ini yang selalu dirawat Gunarti dan kelak menjadi amunisi daya perlawanan yang tak ada habis.

"Warga Kendeng tak menolak pembangunan, tapi harus dilihat, apakah pembangunan itu menguntungkan rakyat atau konglomerat." Yang ditolaknya, adalah ketidakadilan.

"Kami tak melawan bila tak merasa terancam. Jangankan manusia, cacing dan semut saja marah bila dirinya terancam. Kami akan melawan sampai pemerintah tak memaksakan kehendak dan kami tak merasa terancam."

Gunarti, bakal terus bergerak hingga para perusak alam menyingkir dari Pegunungan Kendeng. Mei 2017 Gunarti juga sempat berbicara di depan pemegang saham HeidelbergCement--induk usaha PT Sahabat Mulia Sejati yang hendak membangun pabrik semen di Pati. Kata dia, "Jika nanti pabrik semen berdiri, sawah, sumber air, dan jejak kebudayaan kami akan hilang. Padahal kami sangat bergantung pada tanah dan air untuk sumber penghidupan."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.