Bagaimana Mengucap La Vita e Bella
Bapak lahir dua hari sebelum tahun baru, 30 Desember. Tanggal lahir dan tahun baru, keduanya sama-sama biasa digunakan sebagian orang untuk mematok mula harapan. Lantas mengukur pencapaian-pencapaian.
Beberapa orang menggunakan waktu-waktu itu sebagai penanda. Tapi seingat saya, bapak tak memakai keduanya. Ia menghikmati setiap hari. Pernah saat mengunjungi saya di asrama, ia menitip pesan, agar saya tetap eling akan waktu yang melingkupi manungsa.
Mengenang bapak, sebetulnya yang saya dapati adalah sosok yang, seperti tak punya gairah. Alon ritme hidupnya, tampak selo. Kondisi yang--belakangan saya tahu--kadang bikin ibuk bete. Hehe.
Kalau tahun ini ia masih hidup, enam bulan lagi usianya 62. Sudah bertahun saya tak lagi menulis surat saban tiba tanggal mangkatnya bapak, atau juga tanggal lahirnya. Saya tak paham betul apa sebab.
Boleh jadi karena saya tak lagi menganggap penanda waktu itu sakral. Atau, karena kehilangan yang umurnya sudah sedasawarsa ini telah mengendap dan, masuk ke kotak perbendaharaan rasa saya. Atau, karena saya mencoba menaati pesan bapak. Untuk sadar waktu, tak kelewat lama menimang kehilangan.
Masa lalu kerap mengganduli, sedang angan akan masa depan tak jarang justru bikin cemas. Maka yang bisa dilakukan adalah melakoni apa yang terjadi hari ini.
Gading Marten--setelah perceraiannya dengan Gisel, mendapat pertanyaan dari Raffi Ahmad soal apa pesan buat orang-orang yang 'jatuh' agar mereka mampu kembali melanjutkan hidup dan hari-harinya. Anak Roy Marten menjawabnya dengan petuah berbahasa Italia: La vita è bella perché adesso domani sarà un altro uno.
"Apaan tu? Itu beneran tu? Ngga becanda?" Bapaknya Rafatar bertanya.
"Beneran. Itu artinya: hidup indah karena hari ini, dan anggap hari ini adalah selamanya, sebab besok bakal punya masalahnya sendiri," jawab Bapaknya Gempi kemudian.
Kalimat senapas pernah saya dengar dari mbak-mbak usia 30 yang saya temui di salah satu daerah di Jawa.
Ketika itu saya bertanya, bagaimana melewati hari demi hari setelah rentetan kegetiran yang ia alami. Suaminya ditembak di depannya, karena kedapatan menyimpan bom. Ia, meyaksikan bagaimana bapak anak-anaknya itu mati. Setelahnya, mbak-mbak ini mesti legowo dipisahkan dengan tiga buah hatinya.
Orang-orang takut akan masa depan para bocah.
Mbak-mbak itu kini hidup sendiri. Ia sadrah, anaknya mau dikembalikan padanya atau tidak. Kepasrahan tersebut mewujud laku bangun pagi setiap hari lantas membantu ibu-ibu di warung STMJ, siangnya istirahat dan, sore hingga malam membuat pesanan kue serta arem-arem.
Sebetulnya, sulit bagi saya membayangkan mbak-mbak itu mengucap ... La vita e bella perche adeso domani sara un altro.. di kamar sewanya yang rudin, di kamar sewanya yang engap, di antara rindu anak dan keharusan memenuhi tanggungan harian.
Tapi toh, ia mengucap juga, meski bukan dengan Bahasa Italia.
"Yowes opo jare (Sing Kuoso) wae lah, Mbak.. dilakoni wae."
*Selatan Yakarta, antara Februari dan Maret 2019
Nah ini.
BalasHapusYang begini-ini senantiasa aku harapkan setiap kali menengok alamat gandengsiah.
Nitip al-fatehah untuk bapak manan, mb nurika.
wowwww, nantikah pergantian nama blog lagi yah... terima kasih sudah sudi melongok. Dan, terima kasih juga atas kiriman doanya (:
Hapus