Rencana


Dalam perjalanan atau, saat jeda beranjak dari satu tempat ke tempat lain, biasanya permenungan dimulai. Saya, seringkali mendapati momen itu di tengah lengang jalan--atau rapat kendaraan. Mengendapkan yang sudah-sudah. Menekuri rangkaian detail yang tumpang-tindih.

Sebelumnya saat di teras rumah, di tengah saya menyapu tegel kuning halaman, tiba-tiba saya takut kehilangan keluarga dan, hidup sendiri.

Tak jelas muasal perasaan itu. Dan kenapa pula saat menyapu teras sore hari.

Kemudian setelah itu, jadi terpikir, apa perlu segera menentukan tujuan yang jelas. Mematok pulang. Yang akan selalu jadi sesuatu yang dituju, untuk kembali dan, merestart diri.

Saya lalu sadar, hingga kini belum memilih atau menentukan tujuan itu.

Hidup selama ini berjalan nyaris tanpa rencana.

Itu sebabnya ketika ada kawan yang bertanya: rencanamu apa? Saya tak pernah bisa menjawab--kalau bukan malas. Tapi itu betulan saya belum memikirkan rencana.

Barangkali ini bikin jengkel orang di sekitar saya yang, sungguh-sungguh ingin merencanakan sesuatu dengan saya. Atau, secara serius ingin tahu rencana saya.

Sebagian teman seusia saya sudah sibuk dengan sederet rencana, cemas dengan umur mereka. Ada pula yang sudah memancang pondasi--mengawali dengan menikah, punya anak, menyusun dunia kecil baru bernama keluarga.

Kadang-kadang kondisi itu juga bikin gusar. Bila membandingkan dengan irama harian saya.

D--salah satu kawan saya, ibu tunggal dengan satu anak yang sedang merintis usaha di kampung kelahiran kami. Ia sudah tahu untuk siapa berlarat-larat menyusur depa demi depa harian. Kepada anaknya harapan dipajang dan dirawat agar panjang usia.

Suatu kali saat lebaran 2018 ia mencadai saya: enak ya jadi Dik ika, masih bisa main sana-sini. Sedangkan saat bersamaan saya membatin: Enak juga ya hidup seperti D, mengikuti apa yang diinginkan banyak orang, yang menjadi cita-cita kebanyakan orang.

Yang beginian dibahas di salah satu lagu Frau, Water. Kata Lani, lagu itu bercerita tentang dua perempuan yang saling iri dengan kehidupan masing-masing.

"You're full of plans and sure to fly. Iam living fate i will not roam."

Jika perempuan satu adalah sungai yang mengalir dan mencari, maka perempuan lainnya lagi adalah danau yang tenang dan menetap.

Lagu dengan iringan solo piano itu tapi lantas dilengkapi dengan kalimat: Happiness doesn't take its time to judge, who should get its taste. Water flows in us as our souls are filled with joy and tears in our own ways.

Barangkali pada akhirnya anggapan di masing-masing kepala itu cuma perkara sawang-sinawang.

Jadi bagaimana ya? Perlukah merencanakan sesuatu? Atau, mengalir saja?

Rasanya saya ingin dengar jawaban Pak Manan. Yang jelas, saya sih tak membayangkan ia cuma akan mengucap La Vitta e Bella selepas mendengar curhatan panjang anak perempuannya, tentang rasa takut, tentang pilihan, tentang membuat keputusan, tentang keberanian yang terkikis, tentang hidup yang lentur, yang tak jarang bikin babak-belur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.