Pesan Ibu

Selain mawas diri, ibu meminta saya untuk cakap menitipkan diri. Setiap kali menginap atau menumpang di rumah saudara ataupun kawannya atau juga kawan saya; ingat jangan bangun siang-siang, begitu kata ibu. Selanjutnya, kalau melihat ada yang berantakan, lekaslah bereskan. Kalau melihat ada yang di dapur, ikutlah bantu memasak.

"Isuk tangi langsung nyapu, nek piringi rusoh dikorahi. (Artinya: Bangun pagi langsung menyapu. Kalau ada piring kotor langsung dicuci)," salah satu ucapan rutin ibu setiap tahu saya sedang menumpang tidur.

Di rumah sendiri, saya lebih sering bangun siang. Tapi tetap saja, setiap kali subuh tiba suara ibu secara intens meneror saya sampai saya benar-benar beranjak dari kasur. Setelah salat, saya boleh tidur lagi. Tapi biasanya setengah tujuh saya mengantar ibu ke sekolah. Kalau hari itu malas, maka saya akan tidur-tiduran lagi pukul 10 sampai pukul 12, setelah menyapu dan beberes. Begitulah rutinitas selama pulang kampung.

Ibu juga berpesan, agar saya tidak galak-galak, tak keras kepala, tidak berbicara terlalu keras. Saya tidak tahu inspirasi nasihat ibu itu dari mana. Seingat saya, ibu tak pernah mengikuti pergaulan saya dengan teman-teman.

"Nek karo cah lanang ojo judes-judes (artinya: kalau sama laki-laki jangan galak-galak)," kata dia suatu hari melalui sambungan telepon.

Padahal soal asmara dan, kawan laki-laki, saya tak pernah cerita padanya. Yang ia tahu hanya, ada lah beberapa laki-laki yang sempat dekat dengan saya. Karena mereka tetangga kami. Dan, lumayan sering main ke rumah waktu itu, membawakan kue dan susu, cokelat, kadang buah-buahan. Satu di antaranya sudah punya pacar saat dekat dengan saya.

"Engko nek pacare srengen piye? Kok angger malam Minggu malah mrene. (Artinya: Nanti kalau pacarnya marah gimana? Kok setiap malam Minggu malah ke sini," ibu yang cemas. Waktu itu saya diam saja.

Berpekan kemudian, betul, saya dilabrak pacar dia lewat pesan pendek. Waktu itu masih SMS. Kalau diingat lagi, lucu. Perempuan si pacar laki-laki itu, kini menjadi istrinya, dan selalu mengingat saya, mengingat nama saya, setiap kali kami bertemu kala lebaran. Padahal sampai sekarang saya tak tahu namanya. Seingat saya waktu dia marah-marah, dia tak mengenalkan diri. Hanya bilang, saya pacarnya anu dan bla bla bla.

Lalu yang lain, lelaki selisih lima tahun dengan saya yang setiap datang ke rumah selalu dapat sambutan sinis dari atung--panggilan untuk kakek--saya. Sementara ibu, sepertinya tahu saya tergila-gila pada lelaki itu, jadi ya membiarkan saja. Tapi pada lelaki itu, saya tidak galak kok. Malah pemalu.

Hm, ada beberapa lagi pesan ibu, nanti saya tulis lagi. Tahun ini saya tak bisa pulang karena virus corona menggemaskan--tak tega mau bilang bajingan. Biasanya, kalau bukan tiga bulan sekali, saya akan pulang kampung setiap Ramadan dan Lebaran. Saat itu pesan ibu akan saya dapat secara real time dan live. Untuk sementara ini ya, nasihat akan tetap saya dapat, tapi paling hanya melalui pesan pendek dan sambungan telepon.

Demikian dulu selayaknya hidup harus dijalankan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.