Rasa Nomer 2

Aku belum tidur. Semalaman aku memikirkan tekanan. Ingin aku berbagi critaku tentang tekanan, berbagi cerita dengan siapa sajalah. Asalkan ada yang mendengarkanku, tak perlu menimpali cukup mendengarkan saja. Karena mendengarkan biasanya bagian tersulit dalam proses ini.

Sampai pagi, aku tak menemukan teman bercerita. Sempat sih terpikir olehku bercerita kpd kawanan semut, namun mereka sedang asik berendam dalam cangkir kopi sisa semalam. Lalu aku melirik kuah mie yang tinggal seperempat, ah kuah itu terlihat pasrah, percuma. Ada pulpen garis-garis di atas buku catatan, mereka tampak kelelahan. Biasanya ketika kelelahan kita tak mampu mendengar dengan baik.

Dan lalu ….

Setelah puluhan menit meninggalkanku, belum juga kudapati teman bercerita. Bercerita itu butuh teman yang mau dan mampu mendengarkan. Tak perlu yang mempesona dan menarik perhatian, tak perlu juga yang pandai dan berpengalaman, sudah kubilang kan.. yang penting dia mau mendengarkan.

“Ah, mau mendengarkan saja tak cukup kurasa, ya harus yg cocok denganmu dong. “

“Menurutku sih tak perlu cari yg cocok, karena bercerita itu kan masalah mendengar dan menempatkan rasa. Kalau yg ‘cocok’ itu untuk dijadikan pasangan hidup. Menurutku begitu.” Jawabku padanya. Aku tak akan bercerita dengannya. Aku malas bercerita, karena nya terlalu banyak bicara. Aku bicara satu kalimat, nya akan menjawab satu kalimat dan itu memancingku untuk menimpali nya dengan kalimat-kalimat lain dan akhirnya akan tumbuh dan berkembanglah itu kalimat2 yg tak berhubungan dgn ceritaku. Ujung-ujungnya nanti malah tak sampai tujuan dan maksud ku bercerita. Nya dekat dengan tekanan. Mereka sering makan dan jalan-jalan berdua. Mungkin itulah yang disebut cocok. Hahhh. Tapi indikator kecocokan itu kan bukan dari makan dan jalan-jalan berdua saja toh?. Ah, mengapa jadi asik meracau sendiri begini.

***

Oiya, tentang tekanan. Dia pintar merayu. Aku tak bisa mengelak, sikap dan kata-katanya sungguh membuatku seperti lupa bernafas. Kadang aku hanya mendengarkannya dari balik pintu, mencuri sedikit tatapannya, kemudian meninggalkannya. Dan kau tau, ia menghampiriku. Kami lama bertatapan, dekat. Tak banyak yang kami bicarakan, karena yang kami rasakan sudah lebih dari cukup untuk mewakili semua ungkapan kata.

Aku tak banyak tahu tentang tekanan. Dia menyergapku sekali, dan aku langsung jatuh dibuatnya. Bukankah itu sihir yang hebat? Ia membuatku berada pada perasaan antara, antara sedih dan bahagia, antara rela dan terpaksa, antara bertahan dan melawan, aku menikmati kebimbangan dengan kepastian acak. Itu berarti sama saja bukan? Semua serba cepat dan tergesa, aku merasa ruangku kian sempit karena ada ruang baru antara aku dan tekanan. Aku sangat menikmati waktu berdua dengannya, ia pun demikian. Begitu sepertinya, apakah pernyataanku ini terlalu tergesa?

Hasstagaa, dari tadi rupanya kau mendengarkanku ya. Eeeeh, ohh, trimakasih sebelumnya. Oh, hmm jadi bagaimana menurutmu? Apakah tekanan cocok untukku?

***

……………………………………………….

***

Eehh..

Ohmaigat. Terputus.

“sisa pulsa dalam kartu pra bayar Anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini.”


(Gambar oleh ika)

Tekanan membuatku tak sadar dg apa yang kulakukan, dan aku jadi punya ruang untuk mengutuki diri sendiri, mungkin memang terkadang aku butuh tekanan (sementara) untuk kemudian melepaskannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.