Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2012

Rasa Nomor 76

Tentang pulang dan kepulangan... Selalu tampak jelas di ingatan saya, bagaimana ibu menangis lalu ada banyak tangan menenangkannya. Masih lekat, bagaimana adik saya kemudian bertanya, soal kepulangan Bapak. Masih terasa sergap-peluk para paman ketika saya turun dari mobil. Saya yang baru tiba dari bandara, sudah tidak bisa menangis lagi. Waktu itu, airmata seolah mau keluar tapi urung, melihat mata ibu menggembung. Sampai tak kelihatan bola matanya . K elopak matanya membengkak. Sipit karena menangis. Melihat ibu lunglai, seperti tak punya tulang hingga harus ditopang tangan-tangan , memaksa otak saya cepat berputar, berpikir apa yang sebaiknya saya katakan. Tapi segala upaya gagal, luluh lantak. Saya hanya mematung di samping bapak yang sedang tidur. Jasad Bapak ditutup kain putih, dilapisi kain batik di bagian terluarnya. Bapak berpulang, 08 Desember 2008. Ini sama dengan kematian Lennon. Ya, John Lennon juga pulang 08 Desember, tapi 1980. Kabarnya, penyanyi legendar...

Rasa Nomor 75

Ditulis malam hari, 17 Agustus 2012. Dulu, dulu sekali, saya tidak suka karokean. Karena menurut saya itu ngabis-ngabisin duit saja. Setiap diajak karokean, saya selalu nolak dengan segala macam alasan logis dan terkadang sentimentil. Tapi percayalah, saya suka menyanyi. Waktu itu saya mikir, mending saya nyanyi aja udah pake gitar sendiri di kamar atau cukup nyanyi aja di depan leptop. Begitu lebih hemat bukan? Bagi saya, dulu, karokean hanya untuk orang yang sudah beres masalah kebutuhan primer. Buat mereka yang berkelebihan duit dan mengobati kelelahannya lewat menyanyi dengan fasilitas yang lengkap. Tipi yang gede, sound yang bagus, mic, lirik di layar kaca kemudian musik yang tanpa suara si penyanyi aslinya tentu saja. Bisa tanya teman saya, Balqis Nailufar, saya pernah menolak ajakannya pada suatu malam dengan alasan ingat ibuk saya di kampung: saya nggak mau timpang banget, pas ibuk saya di kampung lagi prihatin-prihatinnya, e malah saya beginjalan karaokean. Tapi ...

Rasa Nomor 74

Tuhan, itu tidak egois. Yakaleee ik kalo Tuhan egois apa bedanya dengan ciptaannya. Dan oleh karenanya saya masih percaya soal Tuhan. Teman saya, ada juga yang tidak percaya. Tapi itu terserah dia lah. Saya juga tidak bisa berbuat banyak, lagi pula wong saya bukan pacarnya juga. Kecuali, saya pacarnya, maka saya akan bingung tak karuan. Bagaimana nanti kami akan menikah, di mana nantinya kalau calon suami saya itu tidak punya Tuhan. Kantor Urusan Agama (KUA) kan juga bingung. Wong mikir kawin lintas agama di negara ini saja susah, apalagi kawin sama yang belum punya Tuhan. Iya, dia tentu punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia. Ya walaupun dia punya, dan di situ tercatat beragama bla bla bla, misalnya. Tapi pertanyaannya, apakah dia mau ke kantor agama kalau dia sendiri ngaku tak percaya Tuhan, bakalan gengsi kaliiii. Kecuali kalau memang si lelaki sudah cinta mati dan ndakmikir gegengsian sih. Eh? Apasih ini, kenapa jadi lari ke situ-situ, nggak nyambung deh -__-‘a. Maaf...

Rasa Nomer 73

Akhir-akhir ini waktu menjadi terbolak-bolak. Saya, mulai tidur jam lima atau enam pagi dan bangun jam sepuluh atau sebelas pagi menuju siang. Sebenarnya saya tidak suka dengan siklus yang seperti itu. saya lebih suka bangun pagi. Bukan karena agar dipuji dan bisa apdet status atau twitter, kemudian menuliskan: Semangat Pagi!! Atau bangun Pagi Itu Lebih Menyegarkan! Bukan, sungguh bukan itu. Saya, kalau sudah bangun jam sepuluhan ke atas itu rasanya lemas sekali. Serba tidak semangat. Mungkin itu juga yang membuat orang ramai memposting dirinya yang berhasil bangun lagi. Walaupun saya sedikit sangsi, apakah setelah postingan tersebut, orang-orang itu benar bangun ataukah malah kembali tidur lagi. Hihi. Yaaaa, urusan masing-masinglah ya itu. Tapi yang pengen saya curhatkan di sini adalah. Bangun di siang hari itu nggak enak sekali. Selain lemes, bawaannya jadi muales. Perlu dorongan sekuat baja untuk memulai aktifitas. Mungkin ini hanya berlaku untuk saya sih. Hihi. Yasudah, s...