Rasa Nomor 76

Tentang pulang dan kepulangan...

Selalu tampak jelas di ingatan saya, bagaimana ibu menangis lalu ada banyak tangan menenangkannya. Masih lekat, bagaimana adik saya kemudian bertanya, soal kepulangan Bapak. Masih terasa sergap-peluk para paman ketika saya turun dari mobil. Saya yang baru tiba dari bandara, sudah tidak bisa menangis lagi.

Waktu itu, airmata seolah mau keluar tapi urung, melihat mata ibu menggembung. Sampai tak kelihatan bola matanya. Kelopak matanya membengkak. Sipit karena menangis. Melihat ibu lunglai, seperti tak punya tulang hingga harus ditopang tangan-tangan, memaksa otak saya cepat berputar, berpikir apa yang sebaiknya saya katakan. Tapi segala upaya gagal, luluh lantak. Saya hanya mematung di samping bapak yang sedang tidur. Jasad Bapak ditutup kain putih, dilapisi kain batik di bagian terluarnya.

Bapak berpulang, 08 Desember 2008. Ini sama dengan kematian Lennon. Ya, John Lennon juga pulang 08 Desember, tapi 1980. Kabarnya, penyanyi legendaris pendiri grup musik The Beatles itu ditembak penggemar fanatiknya, Mark Chapman, di depan apartemen Lennon di Manhattan, New York.

Barangkali nyaris serupa dengan Yoko Ono--istri Lennon, Ibu saya merasakan kehilangan yang sama perihnya. Keduanya sama kehilangan teman hidup. Jika Yoko Ono menuliskan puisi untuk Lennon, ibu saya, mengumpulkan surat-surat cinta dan puisi dari Bapak. Dikumpulkan lagi, dirapikan dan dibendel, dilihat-lihat lagi, menangis, lalu disimpan lagi.

Tidak seperti Yoko yang bisa menuliskan kepedihan atas kehilangan suaminya melalui media massa, ibu saya menulis lewat lakunya. Saya merasakan itu. Kehilangan suami, mungkin seperti kehilangan separuh hidupnya. Bagaimana tidak, selama ini kebanyakan waktu mereka habiskan berdua. Semenjak saya merantau, begitu pun adik yang tinggal di pesantren. Di rumah hanya diisi bapak dan ibu. Saya kira akan sangat beda rasanya ketika hidup yang melulu dijalani berdua, tiba-tiba harus sendirian. Hanya separuh jiwanya, sedang separuhnya lagi, dibawa bapak ke suatu entah.

Bapak, berpulang di tengah rutinitas memasaknya. Malam itu, Bapak sedang memasak dengan ibu. Dia pulang, di pelukan ibu. Menurut dokter, kematiannya akibat serangan jantung. Angin duduk kata Dokter Yoga, begitu paman menjelaskan.

Apapun itu, saya lega karena bapak pulang dengan sederhana. Sebelumnya bapak tidak sakit. Tiga hari sebelum berpulang, Bapak masih mengantar kakek ke Surabaya untuk reuni keluarga. Lalu paginya, menjadi panitia Jambore. Setelahnya, menjadi panitia idul qurban. Dan malamnya dipanggil pulang oleh Tuhan.

Ibu tidak percaya. Karena bapak hanya seperti pingsan, kata ibu. Karena bapak sehat-sehat saja. Karena bapak hanya seperti tidur. Berulang kali ibu bercerita hal yang sama beberapa pekan setelah kepulangan bapak, saya mencoba paham.

"Iya bu, bapak memang hanya tidur. Bukankah kematian adalah tidur panjang?" saya membatin.

Ketika itu saya semester lima. Malamnya saya ngebut tiga gambar berukuran A2, karena paginya deadline, harus dikumpulkan. Baru tidur sekitar satu jam. Pukul dua dini hari kawan kos membangunkan saya. Saya diminta pulang ke Bojonegoro. Entah dorongan apa yang membuat saya kemudian langsung melontarkan pertanyaan: Kenapa? Bapak nggak ada?

Pertanyaan saya hanya dijawab dengan anggukan dan kalimat "sabar ya." Dengan tepukan berkali-kali di bahu saya. Nobon, Tia, Zizi dan Faiz waktu itu lengkap berkumpul di kamar saya. Kemudian mengantar ke bandara Soekarno-Hatta pada tiga pagi untuk menuju Surabaya.

Saya tidak bisa menangis kala itu. Terlalu cepat bapak pulang, saya tidak percaya. Saya tidak pernah benar-benar percaya sebelum melihat langsung.

Dalam perjalanan dari Bogor menuju Surabaya, airmata saya tak bisa keluar. Karena bagi saya bapak masih ada. Airmata, baru pecah ketika mobil mengantar saya dari Bandara Juanda menuju rumah. Tangis ambrol ketika Mas Ridho--anak Pakdhe saya, dengan gamblang bercerita tentang bagaimana bapak pulang. Bagaimana tiba-tiba Tuhan kami memanggil yang, dia sebut dengan lembut.

Sungguh, kematian adalah yang terdekat. Saya pikir, hanya itu satu-satunya waktu bagi saya untuk menangis. Di rumah, keluarga tak boleh melihat saya terlalu sedu, apalagi ibu.

Terlalu cepat bagi saya untuk mengerti bahwa hidup berkali-kali akan menjadi lebih berat tanpa seorang Bapak. Dan terlalu jauh bagi saya untuk paham persoalan bagaimana ibu saya menanggung hidup setelah ini, sendirian.

Hanya satu yang langsung kepikiran saat itu, saya akan berhenti kuliah.

Belum sampai pikiran itu saya utarakan, di tengah sesenggukan ibuk saya bilang: Sampeyan kudu tetep kuliah, nduk, sampek S loro, koyok sing dikarepno bapak. (Kamu harus tetap kuliah, nak, sampai S2, seperti yang diinginkan bapak). 

Saya, hanya bisa menjawab dengan diam. Dan seingat saya, dengan mengelus-elus bahu ibu.

Ibu, mau tak mau, saat itu juga didaulat untuk sekaligus menjadi Bapak. Beruntung sejak semester 1 saya menerima bantuan dana dari tempat kuliah, untuk hidup, saya tak perlu meminta ibu. Tapi tetap saja, ibu mengirimi saya. Ibu bayari semesteran saya. Mulai dari situ, saya pikir, saya tidak boleh main-main. Tapi dasar saya yang brengsek. Kuliah tak cukup empat tahun, saya baru bisa merampungkan tugas akhir setelah lima tahun.

Ibu, tentu saja selalu kelihatan baik-baik saja. Perempuan yang rahimnya pernah saya pinjam itu, menjalani hidup dengan kepala tegak.

Ibu, selalu berkekuatan penuh menghadapi apapun. Saya belajar banyak darinya. Tentang bertahan, tentang menikmati kepedihan, memaknai kehilangan dan, merawat kenangan. Mengingat yang lampau untuk kekuatan menatap yang jauh.

Saya lupa bilang, ibu menjadi guru SD dan bapak adalah guru SMP. Selain guru, mereka juga membuat kue sepulangnya mengajar. Setelah bapak berpulang, kini kami tak lagi berjualan kue. Sebab cuma bapak yang bisa membuat adonan. Jadi sekarang, selain mengajar, ibu rutin berjualan baju dan sepatu.

Saya, sebulan setelah rampung tugas akhir, kemudian diterima menjadi buruh di sebuah perusahaan. Saya bekerja sebelum diwisuda. Syukur dari situ saya mulai bisa membantu ibu. Sedikit sedikit memenuhi permintaan adik untuk membeli buku atau membayar sekolahnya. Mengirimi ibu, untuk belanja atau kebutuhan lainnya. Tapi ibu, seperti ibu-ibu lainnya, sebenarnya selalu menolak jika saya melakukan itu.

“Pakai dulu untuk memenuhi kebutuhanmu.” Begitu katanya.

Tapi bagiku, kebutuhanku adalah engkau, Bu. Lagi-lagi, saya menjawab dalam hati. Saya hanya membalas: “Cuma kathik kok. (Cuma sedikit kok.).

Ibu membalas: “maturnuwun, maaf ibu selalu ngeropotin, belum bisa nyenengin sampeyan.” Begitu kira-kira balasannya, bahasanya tidak sama persis, tapi intinya begitu. Dan saya, menjawab dengan airmata.

Ibu mengaku tenang saya sudah beroleh penghasilan. Dan saya pun sedikit lega karena tak perlu minta-minta ibu juga, sedikit bisa bantu-bantu orang rumah.

Tapi hidup, selalu berlaku adil. Hidup tak pernah membiarkan kita melalui jalan mulus atau, lurus. Karena yang berbelok mungkin yang membikin tahu, paham, bagaimana caranya melewati tikungan. Sebab yang terjal, yang berkerikil, yang licin, yang membuat kita mengerti bahwa hidup tak melulu bisa dijalani hanya dengan gas pol dan stir yang stabil.

Beberapa anggota keluarga besar Ibu juga bapak, meminta saya untuk segera kembali ke kampung. Tak hanya keluarga, teman pun beruntun meminta saya kembali ke kampung.

Saya, lahir dari rahim ibu. Tentu saja, tanpa disuruh pun akan kembali ke rahim ibu, pulang. Tapi tunggu, saya masih mikir, lewat mana dan bagaimana saya akan pulang?


~sudah, panjang betul, curhatan bersambunglah

Komentar

  1. tenggorokan sakit nahan nangis baca ini dr paragraf pertama, sampe akhirnya gak kuat juga pas paragraf 12.. :'(((

    BalasHapus
  2. nyampuuunnnnn sendok, dibaca juga.. panjang lhoo... trimskiiiii ('=

    BalasHapus
  3. issshhh, knapa jadi sedih emotenya... tak ada yang perlu disedihkann di siniii... hidup harus tetap diberangkatkan, rite? =b

    BalasHapus
  4. :')

    Terima kasih Ika.

    Sangat menginspirasiku :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, peweee... inspirasi opoooo... bisa aajaaaa :b
      syukurlah tapi kalo manpaat, walo sauprit :b

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.