Rasa Nomor 77
Nomor yang cantik ya? eh? iya nggak sih? iya ajalah. Oke, abaikan. Saya mau posting tulisan yang sudah lama tersimpan di folder dalam bleki, leptop saya. Nggak lama-lama banget sih, ini tulisan tanggal 15 Agustus lalu.
Ini, tentang sepasang suara yang sedia menawarkan
apa-apa yang dipunya. Mereka membungkusnya dalam sebuah Mini Album atau Extended play (EP) berjudul: Di Paruh Waktu.
Menculik “waktu” untuk melabeli suara mereka, barangkali satu hal yang membuat saya tenggelam. Waktu, memang seringkali membuat
siapa saja lupa. Menenggelamkan apa saja. Kadang-kadang kita tertekan dengan
tenggat. Kadang kita terlampau abai dengan yang luang. Hal lain, yang membuat saya tenggelam, adalah
suara, adalah nada, adalah bagaimana mereka bercerita.
Banda Neira, sepasang suara, milik Ananda dan Rara. Di Paruh Waktu yang
entah apa maksutnya, membuat saya lupa, tenggelam berpekan-pekan mengulang-ulang karya mereka. Di metromini, di tempat memburuh, sesaat setelah bleki
menyala atau saat saya menunggu sesuatu.
Saya sih menduga, penamaan album ini atas dasar, Banda Neira menjadi kesenangan di paruh waktu mereka,
Nanda dan Rara. Tapi ini hanya
dugaan saya. Bisa saja sih “di Paruh Waktu” maksutnya adalah bagian yang paling tajam
yang dimiliki waktu. Jadi, album ini bercerita tentang sejumlah peristiwa “tajam”
yang terekam waktu. Paruh itu kan cucuknya burung yang tajam-tajam gimana gitu.
Tapi penafsiran yang kedua ini terlalu berlebihan dan absurd.
Tapiya sah-sah saja kan memaknainya apa saja. Karena konon, setelah sebuah karya selesai,
ia sudah bukan milik penciptanya, penikmat
bisa bebas sebebas-bebasnya
memaknainya. Itu yang membuat
sebuah karya menjadi lebih kaya. Bukan
begitu? Bukan ya? Mbuh. Baiklah, lupakan.
Begini. Mereka, berhasil bercerita, setidaknya menurut saya. Ini
bukan soal bagaimana memaknai lirik-lirik mereka. Yang menarik, buat saya, di
tengah-tengah saya mendengarkan, mereka berhasil membuat saya lupa mencari
cerita, hanyut mendengarkan apa yang mereka bawa. Tanpa harus repot mencari
untuk apa dan bagaimana-bagaimananya.
Mereka bercerita, lewat nada.
Saya, mendengarkan yang mereka punya, itu saja. Ringan dan menyenangkan.
Tapi memang sih, kalau mendengar
sepenggal demi sepenggal, syairnya . Bisalah dipakai untuk sms kekasih atau
kawan sepermainan. Cieee. Ini contohnya:
.. dia bagai suara hangat senja, senandung tanpa kata, dia mengaburkan
gelap rindu.. siapa kuasa..
Kata “dia” diganti sama “kau”
lhak yo udah bisa dipake yang-yangan tho. Nyehehe. Lupakan.
Tentu saja, sang pencipta berhasil mengawinkan tak hanya syair dengan nada (apasih ya, chord atau
nada ya? Pokonya begituannya lah yes), namun juga dengan warna suara. Ini kenapa dari awal saya
bilang, sepasang suara. Suara mereka berjodoh. Kalian, hanya bisa merasakan
bagaimana asyiknya perjodohan
ini setelah mendengarkannya.
Penasaran? Enggak ya? Kurang
greget gitu ya tulisannya? Yaudasih nggak papa, kalem. Tapi satu, percayalah, Nanda
dan Rara dengan sukarela bercerita. Kalau sudah mendengarkan, kamu akan dibuat
ketagihan. Hihi
Oiya. Selera musik tiap-tiap kita tentu saja berbeda,
namun tak ada ruginya mendengarkan rekomendasi saya. Menurut seorang kawan, musik adalah bunyi. Tapi bagi saya, musik tak hanya menyoal bunyi,
ia piranti si penciptanya untuk bercerita. Kadang kita lupa, bahwa teks tak
akan hidup jika tak diberi nyawa oleh penciptanya. Di sinilah kesempatan
pencipta lagu, pengarang cerita pendek, peramu novel atau pencipta apa saja
untuk memberikan nyawa pada apa yang ia ciptakan.
Manusia, memang bukan Tuhan yang menciptakan ada dari yang tiada, namun
setidaknya, manusia memiliki daya untuk menciptakan yang baru dari yang “ada”.
Mbulet ya? Rumit Ya? Yasudah,
ndak usah banyak cakap. Sila di-huhling atau klik di sini.
(Gambar diambil tanpa ijin dari soundcloud BandaNeira)
~15 Agustus, UK [adalah Utan Kayu maksutnya]
Komentar
Posting Komentar