Rasa Nomor 94


Pertama kali Arsitektur Lanskap di Institut Pertanian Bogor (IPB) berdiri, dipelopori oleh Zain Rachman, Ahmad Surkati dan Saleh Idris. Kami dulu tidak boleh memakai kata Lanskap, karena penggunaan kata lanskap hanya diperbolehkan saat jurusan itu ada di bawah naungan Fakultas Teknik. Sedangkan kami saat itu (dan kini) berada di bawah Fakultas Pertanian. Maka kami diminta menggunakan kata Pertamanan, jadilah jurusan Arsitektur Pertamanan.
Pertama kali, jurusan Arsitektur Pertamanan dibuka pada 1965, salah satu mahasiswanya adalah Profesor Suraini Djamal, yang sekarang berada di Universitas Trisakti. Mulai dari awal terbentuk jurusan ini—mungkin dulu disebutnya program studi--mahasiswanya hanya tiga orang. Kemudian menjadi 12 orang, lalu bertambah lagi menjadi 25-an. Kemudian menjadi 40-an. Dan pada 2005 sudah mencapai 60-an. Kemudian, bukan hal yang mengejutkan jika sekarang bertambah lagi menjadi 89 Mahasiswa.
Setidaknya dua paragraf di atas yang saya ingat dari sambutan singkat Kepala Jurusan/ Departemen Arsitektur Lanskap, Siti Nurisjah dalam acara temu alumni arsitektur lanskap di Bogor. Perempuan yang cerdas, penuh ide, selalu mencoba bekerja di luar pakem, ceplas ceplos dan sensitif tentu saja. Pengalaman menangani ini itu, sudah jangan ditanya lagi. Segudang, bergudang-gudang bahkan. Setidaknya itu yang saya ingat tentang Bu Is—begitu saya dan kawan-kawan jurusan menyapa.
Bu Is menyampaikan. Saat ini sudah ada sekitar 89 mahasiswa yang ditampung Jurusan Arsitektur Lanskap. Lalu,  studionya bagaimana ya? 
Sekedar informasi, studio--ruang kerja kami untuk menggambar dan mengerjakan seluruh proses kreatif lainnya--ketika angkatan saya (jumlah satu angkatan ada 60 orang) itupun sudah umpel-umpelan. Itu waktu jaman saya kuliah, tahun 2007-2011. Kalau sekarang tidak tahu bagaimana studionya. Tapi kalau tidak salah, sudah ada tambahan satu studio lagi di lantai dua. Nah, tapi saya nggak paham soal penggunaannya.
Dulu. Di Studio (bawah) yang mungkin daya tampungnya hanya 30-an orang, kami isi dengan 60 orang. Ya kadang-kadang terasa sumpeknya. Apalagi kalau deadline bertumpuk-tumpuk. Ini erat korelasinya dengan beban di kepala kami dan ide yang harus dikeluarkan. Hehehe. Nah, saya belum dengar cerita yang sekarang seperti apa. Di studio itu, ada puluhan meja gambar. Yang kami ganti kertas striminnya jika sudah mulai kumal dan compang camping.
Saya, menghabiskan waktu kurang lebih lima tahun di jurusan itu, arsitektur lanskap. Yaaaa, terhitung hanya empat tahun sih, karena tahun pertama digunakan untuk Tingkat Persiapan Bersama (TPB). Satu tahun di mana saya dapat pelajaran macam pas SMA gitu—ada biologi, kimia, bahasa Indonesia, pengantar matematika dan lainnya.
Lulus dari jurusan arsitektur lanskap. Kemudian, empat bulan saja saya bekerja sesuai dengan jurusan saya. Setelah itu saya melompat. Alasannya, karena saya pengen aja. Hehehe.
Lalu, banyak 'kenapa' bermunculan. Lalu, banyak pertanyaan. Lalu, banyak saran agar saya kembali ke jalan yang mereka sebut benar. Lalu, banyak penilaian-penilaian. Lalu, saya temui kalimat: untuk apa kuliah lama-lama kalau kerjanya nggak sesuai jurusan? Lalu, saya temui tanya yang tidak terucap pada sepasang mata yang sedang mengajak saya bicara—ah tapi mungkin yang terakhir ini hanya perasaan dik ika saja.
Lalu, layaknya sebagian manusia yang lain. Saya membela diri. Mencari celah agar seolah-olah pekerjaan saya yang sekarang berhubungan dengan jurusan saya. Tapi setelah saya pikir, untuk apa. Maka sekarang saya biarkan saja. Meskipun jelas sulit. Dan faktanya saya selalu butuh satu helaan nafas, satu saja. Susah sungguh berpura-pura tidak mendengar padahal telinga terbuka lebar. Tapi yaaa, waktu membantu saya kok. Tenang saja. Walaupun saya tahu, saya tidak sepenuhnya bebal.
Saya sih rindu melanskap ya. Tapi tidak untuk menggambar detail atau berpikir tentang rencana anggaran biaya. Apalagi bikin ilustrasi perspektif atau tampak dan potongan. Tapi saya sih senang yang lingkungan-lingkungan gitu. Saya juga senang Armand Maulana, Mas-mas humoris mirip Rio Dewanto atau Oom-oom matang tak terjangkau itu. Hahaha. Okei nggak nyambung. Ya sudah, sekians curhatannya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.