Setiap orang punya proyek menulis dalam hidupnya, termasuk aku. ketika blogwalking , aku menemukan sebuah program #30harimenulis. Jujur, aku tertarik namun tak berminat mengikutinya. Karena aku menulis masih dengan mood , kadang-kadang mau dan kadang-kadang tidak. Namun lebih banyak tidaknya. Dulu, aku pernah mencoba menulis buku harian, namun hanya bertahan hingga beberapa lembar saja dan setelahnya berhenti. Ketika smp dan sma, aku masih sangat rajin menulis pada buku harian, setiap malam sebelum tidur, aku mengingat-ingat apa yang istimewa hari ini, atau apa saja yang sudah kulakukan hari ini. Namun ketika masuk kuliah, kebiasaanku ini terhenti, aku tak tahu sebabnya dan tak mencari tahu pula. Hiii. Menulis buku harian menjadi penting sebenarnya, sederhana saja. Ketika kita sudah lewat hari-hari yang lalu, tidak menutup kemungkinan kita akan lupa kejadian-kejadian yang terangkai di dalamnya. Buku harian membantu kita menyusunnya. Karena terkadang proses berlangsung begitu cepat,...
Ketika saya masih punya kawan ngobrol ngalor-ngidul dan membicarakan apapun tentang kami, di luar kami, atau hal-hal absurd lain, pertanyaan-pertanyaan yang tidak didahului konteks dan begitu saja tercetus seringkali muncul. Kadang-kadang dari saya, lebih banyak dari kawan saya. Meski kerap didahului dengan 'apaan sih', tapi kami berdua, entah kenapa, sama-sama menjawab, membicarakan jawaban itu panjang lebar dan, bisa jadi topik tersendiri yang kalau dijadikan talkshow bisa kali enam atau lima segmen. Ya, sejam atau dua jam, begitu? Panjang memang. Setelah saya ingat lagi sekarang, kenapa bisa betah ya? Salah satu pertanyaan yang pernah lintas adalah: Apakah pertanyaan terpenting yang harus dijawab manusia? Apa coba? Kawan saya menjawab, bisa jadi: Siapa aku? Siapa kamu? Apa itu manusia? Ada juga jawaban lain: Bagaimana cara kamu bertahan hidup dari penderitaan--demi penderitaan? Jawaban boleh apa saja, tentu saja.
Mutty Ebtessam, Kenalkan, ia temanku. Nomer absen pertama, hidupnya di ibu kota yang dihuni banyak raga namun tanpa jiwa, hehe. Walaupun dia orang Jakarta, namun bapaknya asli jawa, Magelang. Muteb namanya, dia suka Jepang. Di awal-awal pertama kami masuk kuliah. Dia dan beberapa kawan yang suka Jepang sangat sering datang bersama menghadiri festival yang diselenggarakan sejumlah organisasi Jepang. Kalau tidak salah. Si kechil, panggilan kesayanganku padanya. Dia punya kucing kesayangan juga, namanya Chemot. Dan meninggal ketika kami tingkat 5 (kalau tidak salah ingat.). muteb mengabarkan berpulangnya kucingnya via sms, dan aku tentu saja mengirim sms belasungkawa padanya. Hehe. Tampak kehilangan yang sangat dari air mukanya. Muteb sangat sayang dengan chemot (= Muteb adalah salah satu penggerak wanita di angkatan kami. Kinerjanya dalam berorganisasi dan perencanaan sebuah acara tidak usah diragukan lagi. Semangatnya bisa setara dengan ibu kartini lah dalam memperjuangkan acara yang d...
Komentar
Posting Komentar