Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2013

Rasa Nomor 98

Memiliki sesuatu yang tak mungkin dimiliki, itu, kadang-kadang menjadi lebih menarik. Seorang kawan pernah bilang, terkadang sesuatu--apapun itu--milik orang lain, yang sulit digapai, akan terlihat lebih agung, lebih akbar. Mungkin suara lain dalam televisi atau kicauan twitter akan berkata, itu karena diri yang tak bisa bersyukur. Itu soal lain sih menurutku, dan aku sedang tak membahas itu. Berharap memiliki apa yang dimiliki orang lain itu satu hal. Sedang bersyukur adalah hal lainnya. *** Melihat dan mengagumi dengan jarak. Dekat sekali memang tapi mustahil memiliki, karena biar dekat tapi sudah berlabel. Jika barang, sudah terbeli, ada pemiliknya. Terkadang, melihat milik orang lain dan mencoba memiliki kepunyaan orang lain itu terasa lebih menyenangkan. Malam itu, di depanku sedang duduk lelaki milik perempuan lain di sebuah kota. Perempuan itu tak pernah tahu--atau mungkin belum tahu--lelaki di depanku ini sedang bicara bahwa jantungnya tak lagi berdebar saat bersam...

Rasa Nomor 97

Gambar
Hmmm. Saya mau coba posting agak serius gitu deh ya. Ini soal Pemilu 2014 bagi pemilih difabel. H ak pemilih difabel atau orang berkebutuhan khusus dalam setiap pemilihan umum nyaris selalu luput dari perhatian penyelenggara Pemilu. Pemenuhan hak mereka tertutup riuh rendah keributan yang diciptakan para pemilik partai politik. P ada Pemilu 2004 lalu, pemilih difabel kesulitan lantaran template atau surat suara bagi pemilih tunanetra tidak disiapkan KPU. Malahan, KPU meminta kelengkapan tersebut disiapkan oleh individu atau organisasi kaum difabel. Fasilitas bilik suara pun kala itu tidak memperhitungkan akses pemilih difabel. Pengguna kursi roda juga kesulitan masuk bilik suara yang lebarnya kurang dari 90 sentimeter, apalagi tinggi meja pemilihan juga masih sulit dijangkau pengguna kursi roda. Pada Pemilu 2009, template surat suara untuk pemilih tunanetra kemudian dibuat. Satu kemajuan, namun bukan berarti hak pilih kaum difabel sudah tuntas terakomodir. Tahun itu, m...

Rasa Nomor 96

Gambar
Kenapa tahun baru dan bukan hari baru saja? Jangan tanyakan pada saya, saya juga nggak paham. Dengan bergantinya matahari dengan bulan, lalu bulan dengan matahari lagi, menurut saya, itu sudah cukup untuk bisa dibilang membuka lembaran baru. Berganti satu kali bulan dan sekali matahari berarti satu hari. Tidak harus menunggu setahun itu sudah menandakan bergantinya sesuatu kan? Mungkin bisa jadi itu cuma masalah tanda saja sih. Orang lebih mudah menghitungnya per tahun, lalu muncul lah tahun baru. Mungkin ngawurnya begitu. Habis saya gugling nggak dapet. Bukan nggak dapet sih, nggak mau lama-lama nyari, lantaran ini sudah hampir pagi dan besok saya mburuh. (alasan aja kamu, ika!). Baiklah skip. Eng. Bisa saja setiap jarum panjang di arloji bergerak—yang berarti detik baru—itu juga bisa jadi tanda. Tapi ya terlalu singkat rasanya untuk dijadikan ukuran. Mungkin lewat satu tahun, sekitar 365 hari lamanya, orang akan bisa mengukur dan akan lebih mudah menghitung a...