Haru
Haru, datang tak seperti rasa lainnya. Setidaknya begitu bagi
saya.
Ingatan saya merunut, apakah ada jenis rasa yang mampu menyergap
tiba-tiba selain haru?
Kangen atau rindu misalnya, kan tak hadir sekonyong-konyong
seperti yang dilakukan haru. berpangkal dari growong karena ada yang biasa hadir
lantas absen, maka berbuahlah kangen. Girang atau sedih, juga datang karena
rentetan kejadian yang menyenangkan atau sebaliknya, bukan?
Sedangkan haru, saya kira ia salah satu rasa yang munculnya
mengagetkan. Sangat lekas tapi juga membekas.
Jumat sore nyaris gelap, haru menubruk, setelah mengunyah bakso
lantas menyeruput campuran kopi, rum dan cokelat. Sesaat kelar membaca pesan
pendek yang masuk ke telepon genggam saya, kelopak mata begitu saja menghangat.
Air sudah berkubang di pinggiran kantung mata, sebentar lagi tumpah, saya mendongak.
Di tengah banyak orang, ditambah warung kopi yang sedang ramai-ramainya, agak
musykil menuruti kerja tubuh saya.
Saya menolak menangis. Tapi, sekitaran dada dan bahu terasa masih
bergetar. Saya tak mengerti apa yang terjadi di dalam tubuh dan, kenapa laku pengirim
pesan pendek itu mengakibatkan reaksi yang sebegitunya. Boleh jadi karena saya
menganggap pesan tersebut demikian berarti.
Tapi, belum tentu juga serupa itu yang dirasa pengirim pesan. Bisa jadi, sang pengirim menganggap pesan pada saya bukan
apa-apa. Bagi saya tak bisa begitu, pesan pendek yang dikirim hampir malam itu menjawab
kebingungan. Menenangkan di tengah rindang kejengkelan setengah harian. Mungkin
juga akumulasi kekalutan belakangan. Atau mungkin memang saya berlebihan.
Setelah agak lama, selepas merenung, saya baru menyadari
betapa cepat otak dan tubuh merespon apa yang kita alami.
Kapala saya pusing, saya memesan secangkir kopi lagi, Jambi
Kerinci.
Komentar
Posting Komentar