Rileks


Seorang kawan memberi saya masker, bentuknya kertas menyerupai wajah dengan lubang di bagian mata dan mulut. Ini supaya rileks, kata dia. Setelah menggunakan masker, saya keramas pada empat subuh, dengan shampoo stroberi dan, hair-lotion wangi stroberi.

Sebelumnya, saat menggunakan masker pemberian kawan saya itu, saya rebahan sembari membaca dan, setelah saya pikir-pikir ini bukanlah kegiatan yang rileks. Karena kepala  rupanya masih terasa berat, pikiran kian sesak lalu pundak seperti memanggul sekarung beras. Sempat terbesit tanya, apa saya salah memilih bahan bacaan? Tapi mungkin tidak.

Saya ingin segera pulang. Yameski, akan tambah tidak rileks mungkin.

Soal rileks, rupanya cara masing-masing orang berbeda. Mestinya saya menyadari ini sejak awal. Yang sebelumnya saya pahami, rileks bagi saya adalah jalan kaki menyusuri jalur pedestrian, duduk di taman, lari sore, menonton pertunjukan atau, berbicara dengan orang-orang tertentu. Yang terakhir, di beberapa titik di sekitar tempat saya memburuh, tanpa sengaja saya menemukan orang-orang yang membantu saya mengatasi diri saya sendiri. Misalnya, di UK saya punya Pak Kusnandar. Beliau kang ojek langganan  saya jauh sebelum ojek online jadi keseharian di ibukota. Di kawasan M--lokasi memburuh saya sekarang--saya punya Pak Major yang entah kapan mulanya saya ngobrol basa-basi saja lalu ngalor ngidul kemudian dan seterusnya selanjutnya. Merekalah rehat saya dikala babak bundhas dengan rutinitas harian, atau didera tumpang tindih hal-hal yang nggak perlu. Major dan Kusnandar, seringkali mengingatkan saya lewat percakapan yang simple. Kalau saya menulis soal keduanya di sini, saya kira akan jadi sangat panjang. Maka lain kali saja ya.

Nah, keramas, boleh jadi juga salah satu yang manjur saat saya sedang tertekan, meski saya tidak suka mandi. Tapi apa bole bikin. Tapi kalau ketika itu saya betul-betul tak punya political will untuk mandi, ya seringkali memang saya hanya keramas. Betulan keramas saja tanpa mandi.

Jadi rileks, bagi saya, barangkali bukan dengan masker. Karenanya meski dengan isi kepala yang berjejal, saya masih bisa sedikit lega lantaran tak perlu ada jajan tambahan. Kalau saja masker betulan jadi salah satu rileks saya, sudah tentu butuh hitungan khusus untuk membelinya. Untung tidak begitu, he he he. Sungguh, rileks khas rakyat jelata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.