Kepang yang Entah untuk Apa
Seorang perempuan berkulit licin porselen mengepang rambut. Helaian serupa kumpulan ijuk sapu di pinggiran kanan-kiri pipi itu dipilin berkali. Jam-jam pertamanya masuk kantor dihabiskan buat itu, sebelum mendempul pipi dan kelopak matanya dengan bubuk berwarna, juga mengecap-ngecap bibir barangkali untuk meratakan gincu atau agar kelembabannya terjaga.
Hari itu awal mula pekan, Senin tentu saja, sudah pukul 11 dan dua jam pertamanya masuk ke tempat bekerja dilewati untuk hal-hal yang demikian. Yang perlu kau tahu, setelah itu ikatan kepang tadi dibuka. Hal kedua yang juga perlu jadi tambahan informasi buatmu, rambutnya tetap lurus tanpa nuansa keriting, bergelombang pun tidak.
Kuberitahu, ada rambut-rambut tertentu yang, memang tak bisa begitu saja berubah tekstur. Saat itu saya ingin sekali ngobrol soal ini dengannya, tapi rasanya, lebih baik menyeduh kopi saja.
Saya, memang percaya bahwa beberapa hal di muka bumi ini hadir sia-sia. Tapi untuk mengepang rambut lantas membukanya lagi, hanya demi menghabiskan waktu atau entah apa itu, membuat saya menggolongkan kegiatan tersebut sebagai salah satu jenis kesia-siaan yang tak masuk akal.
Memangnya, ada sia-sia yang masuk akal? Hmmm. Baiklah, saya lanjutkan.
Sebagai sesama perempuan tentu tak elok merespons laku mbak-mbak belia tadi dengan kalimat-kalimat di atas. Sebab ini hanya perkara prioritas dia dan saya yang berbeda. Tapi boleh lah saya mengkal melihat kelakuan semacam itu, sebagaimana dia juga bebas saja merasa kesal terhadap beberapa hal.
Apalagi, bila ditambah mengingat-ingat cara dia memperlakukan perempuan lain yang, misalnya, kulit wajahnya tak semulus dan sekenyal dia. Atau, bentuk tubuh yang tak semolek dirinya. Ia boleh saja, tak kelar-kelar memugar muka di depan kaca. Tapi bukan lantas berwenang mengharuskan perempuan lain melakukan hal serupa dirinya, kan? Sama seperti yang dilakukan sebagian orang--kalau tak boleh menyebut banyak orang--yang menjadikan fisik sebagai standar kecantikan utama dan paripurna.
Karena itu, saya merasa pantas untuk mengkal. Atau kalaupun Anda merasa saya belum pantas, anggaplah saja saya punya bakat jadi chauvinis. Atau pilihan lain, anggaplah saya sekadar sirik.
Bagi perempuan seperti saya--maksudnya, dengan paras yang enggak ada cakep2nya--memugar muka di depan kaca sudah tak lagi guna. Lebih baik menggantinya dengan hal-hal lain yang membuat hidup saya setidak-tidaknya nyaris utuh. Mencari yang bukan artifisial, ini menurut saya. Perempuan lain boleh saja berbeda. Seperti mbak-mbak tadi, misalnya.
Saya lalu jadi ingat, kawan saya pernah bilang: laki-laki cuma butuh kecerdasan untuk terlihat ganteng, sedang perempuan hanya perlu kecantikan untuk dianggap pintar. Sampai-sampai ada ungkapan yang menguatkan: kalau cantik mah bebas. Ada kalanya itu betul, banyak betulnya malahan.
Meski, tak semua perempuan memanfaatkan kemolekan yang ia miliki untuk beroleh perhatian ya. Tapi setidaknya punya wajah di atas rata-rata, bisa dianggap sebagai 'modal' bagi sebagian perempuan.
Ya pantas saja kalau anggapan itu, lalu membikin perempuan dengan paras di bawah rata-rata seperti saya misalnya, perlu kecerdikan dan usaha yang lebih. Sebab tanpa kecantikan seperti yang di atas tadi, tak mudah menyeret ekor mata lawan bicara.
Bukan juga berarti saya bilang, perempuan 'cantik' tak punya masalah ya. Heiy, saya paham kok, setiap manusia mrocot di bumi ini dengan membawa masalahnya masing-masing. Jadi, jangan khawatir.
Tapi sebetulnya, apa perlu mempertahankan laki-laki yang lebih tertarik dengan perempuan berkarakter mooi indie seperti itu? Rasa-rasanya, kalau saya memilih, tidak. Bukan karena ia tak pantas diperjuangkan, tapi memang mungkin perempuan seperti saya bukan prioritasnya. Jadi, buat apa pula saya memprioritaskan spesies laki-laki yang seperti itu. Yang begini ini, berlaku jua bagi para lelaki.
Bukankah manusia memang hidup dengan kuadrannya masing-masing? Ya, kalau nggak cocok dengan kuadran satu, mungkin tempatnya di kuadaran lainnya.
Sesederhana itu, mestinya. Mestinya.
By the way--azzek, tapi sebagai perempuan berparas di bawah rata-rata, saya agak lega dengan beberapa hal yang saya baca, alami dan nikmati selama hidup. Salah satu yang saya ingat adalah percakapan Drax dan Mantis di film Guardians of the Galaxy II. Drax, lelaki kekar dengan tubuh dipenuhi tato itu mempertanyakan kenapa Ego--ayah biologis Star Lord--memilih Mantis yang berupa kacau sebagai kawan hidup. Kira-kira begini,
Drax: Why would Ego want such a hideous one?
Mantis: I am hideous?
Drax: You are horrifying to look at. Yes. But that’s a good thing.
Mantis: Oh?
Drax: When you’re ugly, and someone loves you, you know they love you for who you are. Beautiful people never know who to trust.
Mantis: Well, then I’m certainly grateful to be ugly.
Saya sedikit senang mendengar itu, karena artinya penulis naskah dan mungkin beberapa yang menonton itu film punya pendapat yang sejalan. Meski saya tahu ini kesenangan yang remeh-temeh. Sebab hidup dan apa-apa yang mengelilinginya kan ya tak akan selalu baik-baik saja, tho?
Yaudah. Gitu. Kalau habis nyerocos begini, saya bawaannya jadi ingin menyimpan fotonya Mario Teguh aja deh. Oke, bye.
Hari itu awal mula pekan, Senin tentu saja, sudah pukul 11 dan dua jam pertamanya masuk ke tempat bekerja dilewati untuk hal-hal yang demikian. Yang perlu kau tahu, setelah itu ikatan kepang tadi dibuka. Hal kedua yang juga perlu jadi tambahan informasi buatmu, rambutnya tetap lurus tanpa nuansa keriting, bergelombang pun tidak.
Kuberitahu, ada rambut-rambut tertentu yang, memang tak bisa begitu saja berubah tekstur. Saat itu saya ingin sekali ngobrol soal ini dengannya, tapi rasanya, lebih baik menyeduh kopi saja.
Saya, memang percaya bahwa beberapa hal di muka bumi ini hadir sia-sia. Tapi untuk mengepang rambut lantas membukanya lagi, hanya demi menghabiskan waktu atau entah apa itu, membuat saya menggolongkan kegiatan tersebut sebagai salah satu jenis kesia-siaan yang tak masuk akal.
Memangnya, ada sia-sia yang masuk akal? Hmmm. Baiklah, saya lanjutkan.
Sebagai sesama perempuan tentu tak elok merespons laku mbak-mbak belia tadi dengan kalimat-kalimat di atas. Sebab ini hanya perkara prioritas dia dan saya yang berbeda. Tapi boleh lah saya mengkal melihat kelakuan semacam itu, sebagaimana dia juga bebas saja merasa kesal terhadap beberapa hal.
Apalagi, bila ditambah mengingat-ingat cara dia memperlakukan perempuan lain yang, misalnya, kulit wajahnya tak semulus dan sekenyal dia. Atau, bentuk tubuh yang tak semolek dirinya. Ia boleh saja, tak kelar-kelar memugar muka di depan kaca. Tapi bukan lantas berwenang mengharuskan perempuan lain melakukan hal serupa dirinya, kan? Sama seperti yang dilakukan sebagian orang--kalau tak boleh menyebut banyak orang--yang menjadikan fisik sebagai standar kecantikan utama dan paripurna.
Karena itu, saya merasa pantas untuk mengkal. Atau kalaupun Anda merasa saya belum pantas, anggaplah saja saya punya bakat jadi chauvinis. Atau pilihan lain, anggaplah saya sekadar sirik.
Bagi perempuan seperti saya--maksudnya, dengan paras yang enggak ada cakep2nya--memugar muka di depan kaca sudah tak lagi guna. Lebih baik menggantinya dengan hal-hal lain yang membuat hidup saya setidak-tidaknya nyaris utuh. Mencari yang bukan artifisial, ini menurut saya. Perempuan lain boleh saja berbeda. Seperti mbak-mbak tadi, misalnya.
Saya lalu jadi ingat, kawan saya pernah bilang: laki-laki cuma butuh kecerdasan untuk terlihat ganteng, sedang perempuan hanya perlu kecantikan untuk dianggap pintar. Sampai-sampai ada ungkapan yang menguatkan: kalau cantik mah bebas. Ada kalanya itu betul, banyak betulnya malahan.
Meski, tak semua perempuan memanfaatkan kemolekan yang ia miliki untuk beroleh perhatian ya. Tapi setidaknya punya wajah di atas rata-rata, bisa dianggap sebagai 'modal' bagi sebagian perempuan.
Ya pantas saja kalau anggapan itu, lalu membikin perempuan dengan paras di bawah rata-rata seperti saya misalnya, perlu kecerdikan dan usaha yang lebih. Sebab tanpa kecantikan seperti yang di atas tadi, tak mudah menyeret ekor mata lawan bicara.
Bukan juga berarti saya bilang, perempuan 'cantik' tak punya masalah ya. Heiy, saya paham kok, setiap manusia mrocot di bumi ini dengan membawa masalahnya masing-masing. Jadi, jangan khawatir.
Tapi sebetulnya, apa perlu mempertahankan laki-laki yang lebih tertarik dengan perempuan berkarakter mooi indie seperti itu? Rasa-rasanya, kalau saya memilih, tidak. Bukan karena ia tak pantas diperjuangkan, tapi memang mungkin perempuan seperti saya bukan prioritasnya. Jadi, buat apa pula saya memprioritaskan spesies laki-laki yang seperti itu. Yang begini ini, berlaku jua bagi para lelaki.
Bukankah manusia memang hidup dengan kuadrannya masing-masing? Ya, kalau nggak cocok dengan kuadran satu, mungkin tempatnya di kuadaran lainnya.
Sesederhana itu, mestinya. Mestinya.
By the way--azzek, tapi sebagai perempuan berparas di bawah rata-rata, saya agak lega dengan beberapa hal yang saya baca, alami dan nikmati selama hidup. Salah satu yang saya ingat adalah percakapan Drax dan Mantis di film Guardians of the Galaxy II. Drax, lelaki kekar dengan tubuh dipenuhi tato itu mempertanyakan kenapa Ego--ayah biologis Star Lord--memilih Mantis yang berupa kacau sebagai kawan hidup. Kira-kira begini,
Drax: Why would Ego want such a hideous one?
Mantis: I am hideous?
Drax: You are horrifying to look at. Yes. But that’s a good thing.
Mantis: Oh?
Drax: When you’re ugly, and someone loves you, you know they love you for who you are. Beautiful people never know who to trust.
Mantis: Well, then I’m certainly grateful to be ugly.
Saya sedikit senang mendengar itu, karena artinya penulis naskah dan mungkin beberapa yang menonton itu film punya pendapat yang sejalan. Meski saya tahu ini kesenangan yang remeh-temeh. Sebab hidup dan apa-apa yang mengelilinginya kan ya tak akan selalu baik-baik saja, tho?
Yaudah. Gitu. Kalau habis nyerocos begini, saya bawaannya jadi ingin menyimpan fotonya Mario Teguh aja deh. Oke, bye.
Komentar
Posting Komentar