Menunggu Hujan

Segenggam biji lintong digiling dengan mesin harga jutaan Rupiah. Tak seperti grinder saya yang, 200 ribu saja tak sampai. Saya membatin.

"Kenapa?" si penggiling kopi bertanya, tak sadar, rupanya bibir saya menyungging.

"Nggak papa, hanya memikirkan sesuatu yang nggak penting."

Biji kopi dari Sumatera itu disangrai medium, sehingga warnanya pun tak hitam, lebih ke cokelat gelap. Ia tak tahu, saya suka sangrai level ini. Biji kopi lintong di toplesnya memang kebetulan saja sangrai medium. Entah kapan mulanya, tapi saya memang tak begitu bisa menikmati kopi sangraian gelap atau biasa disebut dark. Meski katanya, orang-orang yang hidup di Eropa bagian timur sana lebih suka sangraian gelap. Saya juga dari wilayah timur sih, tapi Jawa Timur. Hehe. Tidak lucu.

Bagi saya, kopi yang tak gosong lebih mungkin mengeluarkan rasa beragam. Tapi teori yang sebetul-betulnya seperti apa, saya tak tahu pasti. Semua hanya berdasar pengalaman saya mencecap, tak lebih. Bertahun lalu, saya sempat suka sangraian gelap. Tapi selera kan dinamis, jadi ini mungkin salah satu bentuk perubahan.

"Cukup," tanpa sadar saya menyetop tangan yang sedang mengalirkan air dengan gaya memutar, dari ceret ke pinggiran gelas.

"Oh, mau kental? Sorry, aku nggak tahu," suara bassnya terdengar menyesal.

"Nggak papa."

Mike tak tahu, saya lebih suka kopi kental. Karena itu tiap bikin kopi, saya memilih menggunakan gelas ukuran kecil, kira-kira berisi 150an ml air. Itupun masih saya kurangi, kadang air hanya sampai 3/4 gelas.

Sore ini hujan di ibukota seperti mengajak main atau lebih tepatnya setengah mengejek. Datang terus-terusan dari pagi sampai sore. Kadang deras, kadang gerimis, tapi tak pernah betul-betul berhenti. Sebab itu saya memutuskan menunggu hujan reda dan, beruntung dibikinkan kopi setelah mengeluh kepala pusing.

Mike bilang, hidup kelewat pendek maka tetaplah bangun. Saya tak mengerti ucapannya itu metafor belaka atau memang ia menginginkan saya tetap bangun. Tapi saya memilih tak meresponsnya. Sedang malas bicara, meski begitu tetap saja saya membatin sekaligus bertanya--pada diri saya sendiri: bukankah tidur lebih menyenangkan?


Komentar

  1. Terima kasih idolaku sudah mau kembali sharing tulisan di blog favoritku. Aku selalu menunggu tulisan-tulisan selanjutnya. Kiss, kiss :*

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih juga gurukuh sudah mau mampir dan membaca dan meluangkan waktumuh yang berharga, kuharapkan kritik dan masukan darimuh.. salam damay en barokah always.. burung irian burung cenderawasih jangan sekian2 tapi tetap terima kasih..

      Hapus
    2. Wadoh, mbukak kelas pantun wae konooo. Senenge mancing-mancing emosi

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.