Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2019

Setelah Hampir 2 Jam Percakapan

Gambar
Saya baru saya ngobrol dengan kawan saya melalui sambungan telepon. Hampir dua jam. Membicarakan banyak hal, sampai-sampai saya lupa. Tapi satu hal, dia meminta saya menuliskan apapun yang ada di pikir, lantas memaknainya. Saya lalu bertanya, memaknai itu seperti apa? "Ya nulis aja, terus dimaknai." Ia menjawab dengan pernyataan yang sebetulnya masih tak saya mengerti. Jadi lah, begini saja. Saya menulis apapun yang sedang lintas di otak. Belakangan, mungkin sekitar dua pekan belakangan saya merasakan pikiran saya berjejal. Tapi tidak tahu itu apa. Biasanya saya pandai mengurai, tapi kali ini tidak. Seperti ada yang tertahan dan, tak ingin saya ketahui. Saya ingin cerita, tapi saat bicara, yang keluar adalah kalimat yang lompat-lompat yang salah-salah justru tak dipahami lawan bicara. Sering sekali begitu. Setelah menuliskan, atau hanya mengingat-ingat sesuatu di sela saya minum kopi atau es milo atau es nutrisari atau es apapun juga, tiba-tiba saya menangis. Ai...

Teman Sarapan

Gambar
Saya sedang merampungkan membaca kumpulan cerita pendek sembari menandaskan kopi hotel--yang tentu rasanya tak keruan--ketika Ongen menghampiri. "Sarapan dulu, Bung. Ngopi." Lelaki usia 40an itu tak langsung duduk, ia menuju meja prasmanan. Kembali ke meja saya, dengan sepiring nasi juga lauk. Pagi itu saya tak sarapan, tak biasa sarapan memang. 30 menit pertama obrolan kami hanya basa-basi dan seputar apa saja rencana hari itu. Hingga ia bertanya tentang asal saya. Lalu mengetahui bahwa saya perantau. Dan selanjutnya, karena saya mengenakan jilbab, tentu ia menganggap saya merayakan lebaran. Di situlah mula kami bercerita soal lebaran, soal konflik--yang kemudian digiring ke arah antar-pemeluk agama--pada 1998 hingga, ketakutan anaknya mengetahui kebenaran demi kebenaran. Kebenaran memang saringkali menyakitkan, menjengkelkan, kelewat pait buat diterima. Tapi begitulah. Ia lantas mengisahkan, Ambon, kota kelahirannya itu tak seseram bayangan para pendatang. Mesk...

Pamrih dan Ketidakpedulian

Gambar
Kenapa ada sebagian manusia yang memilih baru mau peduli, ketika dia ditimpa masalah? Atau, ketika persoalan itu ada hubungannya dengan kepentingan dirinya. Kalau tidak, ya maka sikap pura-pura tidak tahu atau tak ambil pusing menjadi jalan yang dianggap paling tepat. Padahal kan, saat masalah itu tak secara langsung terjadi atau menimpa dirinya, bukan berarti ia terbebas dari masalah serupa di kemudian hari nanti kan? Ada yang beranggapan ketika sebuah persoalan itu tak langsung menimpanya, seakan-akan badai itu tak jua bakal mampu menerjang mereka kelak. Sedang ketika tiba kelak giliran ia yang berperkara, lalu ia bakal kelimpungan mengiba kepedulian orang lain. Busuk betul. Sebenarnya saya tak suka manusia jenis ini, tapi kadang kasihan--kalau tak boleh menyebut tak punya pilihan--untuk tak meladeni mereka. Meski sebetulnya kata seorang kawan, saya punya pilihan untuk itu--dengan kata lain, menolak. Seorang lelaki--yang dulu sering saya dengar pendapatnya--berkali-kali...