Pamrih dan Ketidakpedulian
Kenapa ada sebagian manusia yang memilih baru mau peduli, ketika dia ditimpa masalah? Atau, ketika persoalan itu ada hubungannya dengan kepentingan dirinya.
Kalau tidak, ya maka sikap pura-pura tidak tahu atau tak ambil pusing menjadi jalan yang dianggap paling tepat. Padahal kan, saat masalah itu tak secara langsung terjadi atau menimpa dirinya, bukan berarti ia terbebas dari masalah serupa di kemudian hari nanti kan?
Ada yang beranggapan ketika sebuah persoalan itu tak langsung menimpanya, seakan-akan badai itu tak jua bakal mampu menerjang mereka kelak.
Sedang ketika tiba kelak giliran ia yang berperkara, lalu ia bakal kelimpungan mengiba kepedulian orang lain. Busuk betul.
Sebenarnya saya tak suka manusia jenis ini, tapi kadang kasihan--kalau tak boleh menyebut tak punya pilihan--untuk tak meladeni mereka. Meski sebetulnya kata seorang kawan, saya punya pilihan untuk itu--dengan kata lain, menolak.
Seorang lelaki--yang dulu sering saya dengar pendapatnya--berkali-kali mengingatkan saya untuk tak memedulikan golongan yang demikian. Atau juga, belajar untuk tak memikirkan orang lain dan, mengutamakan untuk merampungkan masalah saya--juga masalahnya saat itu.
Hanya saja, kau pasti tahu jawabannya, tak mungkin saya bisa melakukannya semudah bersepeda di jalan turunan.
Sebetulnya tak apa dan tak ada yang keliru ketika ada yang memilih untuk tak peduli dengan masalah orang lain--apalagi yang tak ada lingkar sama sekali dengan hidup kita. Tapi ya mbok konsekuensilah jua dengan pilihanmu itu. Jadi ketika kau tak peduli A maka tak usah merengek ketika masalah A menimpamu.
Gitu nggak sih? Nggak juga ya? Hmmm.
Terkait ini, ada lagi yang lebih sukar dan boleh jadi bikin cilaka. Adalah, kalau saya sampai punya harap, orang lain bakal melakukan hal seperti yang saya lakukan. Itu sebabnya barangkali ada ajaran soal ikhlas. Berat sih ini, biar guru saya saja nanti yang menjelaskan. Saya sih nggak kompeten.
Katanya, kita boleh sesekali tak peduli akan sesuatu--apalagi hal-hal yang tak kita anggap penting. Lalu pertanyaannya: kapan sebaiknya kita memutuskan untuk peduli, dan kapan harus memilih menjadi tak peduli?
Lalu yang juga perlu diketahui jauh-jauh hari juga adalah, barangkali yang kita berikan itu tak selalu bakal segaris dengan yang kita terima tho. Karena itu, sebagaimana kata Baskara, hidup bukanlah perihal mengambil yang kau tebar maka sedikit air yang kupunya ini milikmu juga.
Hanya saja, kau pasti tahu jawabannya, tak mungkin saya bisa melakukannya semudah bersepeda di jalan turunan.
Sebetulnya tak apa dan tak ada yang keliru ketika ada yang memilih untuk tak peduli dengan masalah orang lain--apalagi yang tak ada lingkar sama sekali dengan hidup kita. Tapi ya mbok konsekuensilah jua dengan pilihanmu itu. Jadi ketika kau tak peduli A maka tak usah merengek ketika masalah A menimpamu.
Gitu nggak sih? Nggak juga ya? Hmmm.
Terkait ini, ada lagi yang lebih sukar dan boleh jadi bikin cilaka. Adalah, kalau saya sampai punya harap, orang lain bakal melakukan hal seperti yang saya lakukan. Itu sebabnya barangkali ada ajaran soal ikhlas. Berat sih ini, biar guru saya saja nanti yang menjelaskan. Saya sih nggak kompeten.
Katanya, kita boleh sesekali tak peduli akan sesuatu--apalagi hal-hal yang tak kita anggap penting. Lalu pertanyaannya: kapan sebaiknya kita memutuskan untuk peduli, dan kapan harus memilih menjadi tak peduli?
Lalu yang juga perlu diketahui jauh-jauh hari juga adalah, barangkali yang kita berikan itu tak selalu bakal segaris dengan yang kita terima tho. Karena itu, sebagaimana kata Baskara, hidup bukanlah perihal mengambil yang kau tebar maka sedikit air yang kupunya ini milikmu juga.
Komentar
Posting Komentar