Rasa Nomor 88

Kadang-kadang saya merasa tak perlu merencanakan harus menjatuhkan hati kepada siapa, harus meletakkan hati di tempat yang seperti apa dan kapan harus melepaskan rasa. Tapi kadang-kadang tiba-tiba saya diminta berencana. Dan saya bingung. Tapi kebingungan saya hanya sebentar, sebentar yang terus-menerus. Ini artinya bingung berkelanjutan. Hehe.

Hanya waktu yang setia menemani saya, karena ia melekat dengan apa-apa yang saya lakukan. Ya mau tak mau, akhirnya ia saja yang menemani. Waktu, melekat pada ruang yang saya tempati. Sedang lelaki itu, hanya memandang saya dari kejauhan kemudian pergi menggandeng perempuan lain. Perempuan dari luar angkasa, yang membuatnya menjadi sempurna.

Kemudian saya berkata pada diri saya sendiri, tentang sebuah mantra paling jitu yang tak lekang waktu: makhluk dengan air mata akan selalu baik-baik saja, apapun yang menempanya.

Kata per kata, begitu saja saya rangkai. Tanpa sadar, tanpa tahu untuk siapa. Cerita demi cerita saya dengarkan, entah untuk apa. semua saya telan begitu saja. Tanpa mengerti apa fungsinya.

Kemudian di sela-sela pohon, seorang perempuan muncul dengan wajah sendu dan tangan penuh bunga. Ia bilang, itu dari lelaki yang menjanjikannya rumah dengan pintu dan jendela. Saya diam saja. Kamu perempuan yang bahagia, itu saja yang terucap. Tapi bukan itu yang hendak saya katakan sebenarnya. Hati-hati, adalah kata yang pas untuk mengikuti setiap kebahagiaan yang kelak kita temui.

Di sudut sebuah kota, perempuan lain sedang meringkuk. Menghitung satu-satu biji karet yang ada di depannya. Di lehernya yang jenjang,melingkar indah sesuatu yang berkilauan. Saya menghampirinya, melihat dari dekat apakah gerangan yang memantulkan cahaya di lehernya itu. Dan perempuan itu kemudian bercerita. Benda di lehernya itu pemberian seorang lelaki yang sedang melaut, menyebrangi pulau-pulau tak bertuan. Sebuah kalung dari batu. Entah batu apa namanya. Perempuan itu bilang, sang lelaki akan kembali dan menikahinya di bawah pohon ki hujan di kota kami. Saya tersenyum. Mendoakan kebaikan perempuan dan lelaki seberang daratan itu.

Di antara jalan pulang dan sepanjang gang yang kebingungan, ada perempuan yang mencari-cari apa yang disebutnya hilang. Saya bertanya, mencari apa? Hanya sepasang mata nyalang yang menjawab pertanyaan saya. sekali menatap, kemudian pergi. Saya yang tidak mengerti apa-apa, duduk untuk berpikir, adakah yang salah dari pertanyaan saya. sebotol air di tas masih tersisa seperempat, saya teguk sebagai jawaban kebingungan. Sebenarnya bukan jawaban dari kebingungan, hanya bayaran atas apa yang baru saja saya dapatkan.

Perempuan pencari sesuatu yang hilang itu kembali, mendekati saya. menundukkan kepalanya agar sejajar dengan saya yang sedang duduk. Kenapa? Tanya saya. Selamanya, apa yang aku cari tidak akan kutemukan, katanya kemudian.

Saya yang masih dalam posisi duduk, kembali menenggak air dalam botol bekal yang sebenarnya sudah habis. Mata saya mencari jawaban pada jalan yang lengang, pada pohon kamboja yang sedang mekar bunganya, pada burung pipit di kabel listrik, pada sebuah sore yang ragu-ragu. Tak ada jawaban. Terlalu banyak janji lelaki yang ditelan mentah-mentah oleh perempuan-perempuan itu, juga oleh saya. Pun sebaliknya, tak sedikit lelaki yang juga mendapat janji mentah dari perempuan-perempuannya.


~ini iseng aja sih, ngga tau apa motivasi pas bikin catatan ini. random yang jelas.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.