Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Rasa Nomor 121

Gambar
Ini hari, saya memulai terapi (terapi bukan ya ini namanya?), eng.. untuk memperbaiki siklus tidur saya yang belakangan makin kacau. Apalagi semenjak jadwal memburuh saya dirotasi dari pagi ke siang hari. Akibatnya saya jadi terbiasa tidur pagi, sekitar pukul 5, 6 atau 7 pagi baru bisa tidur. Bahkan pernah saya kebingungan lantaran sampai pukul 9 masih melek alias tak bisa merem. Kenapa bingung? Karena kan kalau tak tidur, bisa-bisa saya lemah-letih-lesu pas jam memburuh—pukul 14. Akhirnya waktu itu, biar bisa bobok saya baca buku tapi tetap tak mengantuk, lalu gonta ganti posisi tidur, e tak tahu tiba-tiba saja saya tertidur dan bangun lagi sekitar pukul 12. Syukurlah ya. Nah, karena kekacauan siklus tidur, saya jadi kehilangan pagi. Karena pagi hari sibuk mengurusi bagaimana cara tidur atau kalau nggak ya sudah molor. Tak cuma itu, akhirnya saya juga susah lari. Lari dari kenyataan. Yak, bukanlah. Lari pagi maksudnya. Terus, jadi nggak bisa dengerin acara radio pagi yang...

Rasa Nomor 120

Gambar
Salah satu yang membikin seorang lelaki dapat dikatakan lebih lemah dari perempuannya, adalah ketika ia menyangsikan kesetiaan perempuannya tapi di saat yang sama tak berani diuji kesetiaannya. Sama seperti Rama, yang meminta Sinta membuktikan kesucian dan kesetiaan dengan membakar diri di atas api kremasi. Jika tak terbakar, itu bukti Sinta tak berdusta.  Saat itu, dengan penuh kesadaran, Sinta terjun ke api yang menyala. Ia selamat. Itu bukti, bahwa Sinta suci juga setia. Namun apa pembuktian itu berlaku sebaliknya?   Jika Sinta telah berani terjun ke api kremasi, dan ia selamat. Maka sementara kita bisa menyimpulkan, Sinta tak mungkin tak suci. Sedangkan Rama? Mungkin saja ia tak suci. Kita sama-sama belum tahu. Sebab kala itu, ia tak ikut menerjunkan diri ke api kremasi, tak ikut membuktikan kesetiaan. Jadi apa merawat kesetiaan hanyalah kewajiban perempuan? Jika sudah begitu, kita--atau saya--masihkah bisa mengatakan bahwa Rama benar mencintai Sinta? Rama ya...

Rasa Nomor 119

Gambar
Atas nama jarak jauh dengan keluarga, saya sangat berterima kasih kepada teknologi. Terutama telepon genggam. Ia memangkas jarak sedemikian rupa. Meski kadang juga menjadikan manusia berjarak sih, memang. Namun segala sesuatu jika digunakan tepat dan pas, semuanya akan baik-baik saja. Pun dengan telepon genggam. Ceritanya saya sedang kalut. Tak ada yang bisa saya ajak ngobrol, teman-teman saya sedang sibuk. Kekasih saya tak punya, yak curhat. Dan akhirnya saya curhat di grup whatsapp—yang isinya perempuan saja—kawan dekat di tempat memburuh. Itupun cerita tidak pol, seperti saat saya cerita lewat obrolan atau bertemu langsung. Kemudian, saya memilih melupakan sejenak penat dengan ke Bogor, membahas sebuah prooyek bersama kawan-kawan di sana. Selesainya dari situ, saya tak langsung pulang. Duduk-duduk di tempat favorit saya, sekitaran Stasiun Cikini, hingga larut malam, masih kalut. Dan saat itu juga, karena tak tahan maka saya putuskan menelpon ibu, itu pukul 1 dini hari....

Rasa Nomor 118

Gambar
Sebab dalam bahasa Yunani, nostos adalah kembali ke rumah/ asal dan algos adalah penderitaan. Maka perkawinan antara keduanya melahirkan nostalgia, penderitaan yang disebabkan kerinduan yang tak ada habisnya untuk kembali ke asal Kembali ke asal, pulang. Pulang dan rindu, dua hal yang menyebalkan. Kerap bikin saya sariawan, atau jengkel karena tak tahu bagaimana cara menahan. Kepulangan kadang menyenangkan, karena ada yang lama dinanti kemudian datang. Tapi kadang bisa juga memilukan, karena ada yang pergi dan tak kembali. Tapi keduanya punya kesamaan, menuju ke sesuatu. *** Saya sedang pulang, dalam arti yang sebenarnya. Kini saya sedang di rumah. Menulis di kamar saya, tak ada yang berubah dan tak banyak yang bertambah. Dari dulu, hanya sebuah almari di pojokan dengan kacanya setubuh saya, kasur yang muat ditiduri tiga orang, gitar, buku-buku dan tambahannya adalah karpet—yang masih tergulung. Kamar saya memiliki jendela yang berseberangan dengan pintu. ...