Rasa Nomor 119
Atas
nama jarak jauh dengan keluarga, saya sangat berterima kasih kepada teknologi.
Terutama telepon genggam. Ia memangkas jarak sedemikian rupa. Meski kadang juga
menjadikan manusia berjarak sih, memang. Namun segala sesuatu jika digunakan
tepat dan pas, semuanya akan baik-baik saja. Pun dengan telepon genggam.
Ceritanya
saya sedang kalut. Tak ada yang bisa saya ajak ngobrol, teman-teman saya sedang
sibuk. Kekasih saya tak punya, yak curhat. Dan akhirnya saya curhat di grup
whatsapp—yang isinya perempuan saja—kawan dekat di tempat memburuh. Itupun
cerita tidak pol, seperti saat saya cerita lewat obrolan atau bertemu langsung.
Kemudian,
saya memilih melupakan sejenak penat dengan ke Bogor, membahas sebuah prooyek
bersama kawan-kawan di sana. Selesainya dari situ, saya tak langsung pulang.
Duduk-duduk di tempat favorit saya, sekitaran Stasiun Cikini, hingga larut
malam, masih kalut. Dan saat itu juga, karena tak tahan maka saya putuskan
menelpon ibu, itu pukul 1 dini hari. Saya cerita pada ibu saya. Tentang apa
yang saya rasa di tempat memburuh saya. Tentang kawan yang kesal dengan saya
karena ia menyangka saya lebih diperhatikan dibanding dia, padahal tidak.
Tentang sebuah proses yang diganjal. Tentang misi menyelematkan diri
sendiri-sendiri. Tentang juru selamat palsu. Tentang dasamuka. Dan tentang saya
yang diminta tidak menjadi diri saya sendiri. Lalu saya capek.
Ibu
saya bilang, dalam memburuh itu semua biasa. Mendengar orang lain kadang perlu
tapi juga tak perlu-perlu amat, lanjutnya. Pikirkan sebentar saja lalu bebaskan
dirimu, kira-kira begitu kalimat ibu jika di-bahasa-Indonesia-kan. Kata ibu,
kuncinya adalah asalkan saya tidak mengganggu dan menyakiti orang lain. Itu
saja.
Memang
tak ada yang benar-benar selesai setelah dialog dini hari itu. Tapi setidaknya,
setelah perbincangan panjang dengan Ibu, rasanya seperti ada yang memijat
pelipis saya, mengurut pundak, mengurangi letih. Dan kami sepakat bahwa menjadi
palsu itu memuakkan.
UK, 14
September 2014
Komentar
Posting Komentar