Rasa Nomor 118
Sebab dalam bahasa Yunani, nostos adalah kembali ke
rumah/ asal dan algos adalah penderitaan. Maka perkawinan antara keduanya
melahirkan nostalgia, penderitaan yang disebabkan kerinduan yang tak ada
habisnya untuk kembali ke asal
Kembali ke asal, pulang.
Pulang dan rindu, dua hal yang
menyebalkan. Kerap bikin saya sariawan, atau jengkel karena tak tahu bagaimana
cara menahan.
Kepulangan kadang menyenangkan, karena
ada yang lama dinanti kemudian datang. Tapi kadang bisa juga memilukan, karena
ada yang pergi dan tak kembali. Tapi keduanya punya kesamaan, menuju ke
sesuatu.
***
Saya sedang pulang, dalam arti
yang sebenarnya. Kini saya sedang di rumah. Menulis di kamar saya, tak ada yang
berubah dan tak banyak yang bertambah. Dari dulu, hanya sebuah almari di
pojokan dengan kacanya setubuh saya, kasur yang muat ditiduri tiga orang,
gitar, buku-buku dan tambahannya adalah karpet—yang masih tergulung.
Kamar saya memiliki jendela yang
berseberangan dengan pintu. Jendela itu, dulu, langsung berbatasan dengan musala
rumah kami. Namun setelah Bapak meninggal, rumah kami dipugar--tak banyak yang
berubah dan bertambah dari pemugaran itu sih, hanya berubah arah saja. Nah setelah
pemugaran yang sebenarnya tak pugar-pugar amat itulah musala rumah tak lagi
ada. Lagian, ibuk juga tinggal sendiri ketika saya dan adik kembali ke rantau.
Saya selalu ingin pulang,
menempati desa kelahiran saya, Bojonegoro. Tapi banyak hal yang membuat saya
belum bisa. Kembali ke rumah, pulang, berarti mengekalkan segala kenang tentang
masa kecil saya, cinta pertama, perkawanan, kenakalan dan apa-apa yang membuat
saya menjadi perempuan berwatak seperti sekarang ini.
Pulang, jika Float bilang, adalah
menuju ke tempat berteduh hati kala biru. Lain lagi dengan Dadang, lelaki
gondrong vokalis Dialog Dini Hari itu pernah menyebut soal pulang dan rumah. Dengan
suara berat ia bertanya: kenapa sih kita sering sekali mencari rumah? Mencari jalan
pulang?
Lalu ia menjawab pertanyaannya
sendiri, kembali dengan suara beratnya: padahal kalau kita bingung mencari
rumah, kehilangan arah untuk pulang. Mengapa tak menjadikan diri kita saja sebagai
rumah? Rumah bagi orang lain. Tempat berpulang yang lain.
Sumuragung, 01 Mei 2014
Komentar
Posting Komentar