Rasa Nomor 117

“… Wah, Mba ini pakai jilbab tapi demenannya The Sigit.” celetuk seorang pria. Ia pemandu acara di sebuah helatan musik sekaligus bazaar anak muda. Jebolan stand up comedy, biasanya disebut komika.

Mendengar itu, reflek kening saya berkerut. Mencari hubungan antara selera musik dengan pilihan berpakaian seseorang. Apa lantas, ketika seseorang memilih mengenakan jilbab, ia harus membatasi selera musiknya, hanya dengan mendengar lagu relegius saja? Lagu relegius? Eh tunggu? Memang ada? --- Saya jadi ingat jawaban vokalis Letto, Noe saat ia ditanya: banyak yang bilang lagu Anda isinya perenungan, relegius, memang begitu ya? Putra Cak Nun menjawabnya dengan cengengesen: “… Kami tidak percaya dengan lagu religius. Kalau ada lagu religius berarti ada lagu tidak religius dong? Padahal semua hal menurut kami bisa diambil sisi religiusnya. Mau ngomong kambing sampai kotoran sapi, semuanya bisa religius juga. Bukan lagunya, tapi bagaimana kita mengambilnya”.

Saya sepakat. Tafsir sebuah lagu bergantung pada pengalaman masing-masing orang, lagu itu akan punya makna berbeda-beda menyesuaikan dengan perjalanan hidup yang pernah dialami.

Lanjut. Lalu, apa juga lantas mereka yang menyenangi campur sari atau keroncong harus melulu yang memakai blankon atau kebaya? Apa jika penyuka hip hop bajunya harus gombrong dan pakai kalung banyak? Apa iya, saat di tengah jalan kita bertemu remaja bercelana ketat, berkaos hitam, berambut spike, bertindik, bergelang banyak juga bertato, apa lantas selera musiknya harus punk dan tidak boleh mencintai dangdut? Ndak juga tho?

Sampai di sini saya mencoba menelan dulu.

Selera musik, kalau bagi saya, seperti memperlakukan selera makanan atau minuman. Soal senang atau tak senang saja. Sebenarnya, bukan kali pertama saya menemukan celetukan seperti di awal tulisan ini. Pada sebuah malam, saya masih ingat, saat itu peluncuran Album SORE – Sombreros Kidos.

“Ini ngapain ada mbak-mbak berjilbab di sini? Mbak, mau ikut pengajian ya? Bukan di sini.” Deretan kalimat itu tumpah dari seorang komika (kebetulan komika lagi), yang juga menjadi pemandu acara. Ungkapan yang ditujukan ke perempuan berjilbab yang mengambil tempat di depan panggung. Saya yang saat itu di samping panggung, menaikkan alis: mungkin ia berusaha melucu, tapi saya tak menangkap letak kelucuannya di mana.

Saya suka bingung, kenapa sebagian manusia, di bawah alam sadarnya, begitu tertarik mengatur kesenangan manusia lain? bahkan untuk urusan mendengarkan musik. ((MISTERI))

***

Nurika Manan -- Perempuan Bojonegoro. Berjilbab. Senang dengan beragam musik. Penggemar gitar, terompet dan vokal yang berat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.