Rasa Nomer 31

Untuk kesekian kalinya, kami duduk berdua. Duduk, sekedar melihat awan yang berjalan, dan mengamati cuaca yang sebentar-sebentar mendung, sebentar-sebentar cerah. Aku menulis dibalik layar pangkuku, dan kau menulis di atas kertas, di buku kegemaranmu. Kau menulis sebuah kalimat singkat, selebihnya adalah angka-angka yang kau biarkan tercecer begitu saja tanpa boleh kumengerti. Setiap kali aku tanya perihal makna angka-angka, kau hanya menjawab singkat.

“Itu perhitungan tentang aku dan kamu, yang tak perlu kau pahami.”

Dan aku malas membalas serta mencari tahu makna tentang angka yang kau tulis berulang kali di setiap kau membuat kalimat untukku. Sampai pada suatu sore yang seperti biasa dengan hari yang berbeda, kau mengeluarkan alat hitung dan menyuruhku menghitung.

“Aku hanya melihat angka, tidak melihat tanda plus, minus, kali, bagi, atau lainnya. Jadi apa yang harus kulakukan?”

“Lakukanlah sesukamu.”

Kau memang misterius. Semisterius matematika yang entah kenapa sebanyak apapun coba kumengeti, aku selalu D dibuatnya. Aku benar-benar tak mengerti apa yang kau inginkan. Anehnya, aku pun tetap menurutimu seperti aku menuruti perintah ibuku. Aku menjumlahkan, kemudian mengurangkannya, aku kali juga, dan kubagi, kadang-kadang aku juga menggunakan akar dan pengkuadratan, karena banyak sekali angka yang harus kuperlakukan.

Lalu hasilnya, angka yang jelek = 1937357343,389376

Sama sekali aku tak mengerti. Lalu kau tersenyum. Dan aku tetap tak mengerti apa maksudnya, kurasa kau (yang membaca) pun tak mengerti apa maksudnya. Sia-sia bukan?

“Ada hal-hal yang cukup hanya kau lihat dan kau rasakan keberadaannya, meyakini bahwa ia ada, ada diatas kertasku, tertulis. Tanpa perlu kau perlakukan sedemikian rupa, karena perlakuanmu hanya akan berakhir pada hasil yang tak kau ketahui apa. Itulah aku dan kamu, angka-angka yang tak perlu dijumlah; dikurang; atau di-yang lain, ada nilai diantara kita. Nilai yang entah apa. Absurd bukan? Lebih baik kau tak menyuruhku menyebutkan berapa persen aku mencintaimu, dan berapa persen kadar cemburuku. Karena persentase itu sama sekali tak berarti. Nilai kita absurd sayang. Aku .... ”

Tak pernah kau berbicara sepanjang itu, dan aku pun mengerut kening tanpa bisa membalas panggilan sayangmu padaku. Pertama kalinya kau menyebut kata sayang untukku. Sore itu terasa ramai sekali percakapan antara aku dan kamu, selebihnya adalah sepi. :’)

Ya, aku sering menanyakan dan meminta penjelasan ini-itu tentang rasa sayangmu padaku, tentang kecemburuanmu, tentang perhatianmu. Karena kau lelaki yang tak banyak ucap, aku tak mengerti kau benar-benar mencintaiku atau tidak, jadi kutanya macam segala rupa tentang kita berdua. Setelah sore ini, aku tak menjamin aku akan berhenti bertanya tentang semua itu. Ya tapi setidaknya, aku tahu bahwa kau benar sayang padaku. Semoga yang kali ini kurasakan tak salah ya.


*Ada hal-hal yang menjadi tidak berarti ketika dibahasakan, tapi ada pula yang lebih berarti dengan dibahasakan. Jadi? Pilihlah jawaban yang menurutmu benar, sesuai, dan pas. ^^

Komentar

  1. asiiik postingan baruu
    ada beberapa alasan yang dimengerti oleh hati, tapi otak tidak. ;)

    BalasHapus
  2. eheee, makasih sudah membaca gitaaak ^,^
    yaaaa, begitu kira2.. eng, bahkan mungkin ada yg tak usah dimengerti.. ehekhek ;p

    BalasHapus
  3. Makan malam, serupa diam-diam mencuri nikmat dunia milik siapa-saja hanya untuk disantap berdua. berdua xD

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.