Rasa Nomor 106
Cincin yang melingkar di jari manis itu serupa jimat yang menjauhkannya dari wanita manapun, perempuan manapun, secantik apapun. Namun tidak untuk menjauhkannya dari saya. Sore itu, kami memulai percakapan, berdua. Di sebuah meja yang jauh dari hingar bingar panggung. Awalnya saya dan dia hanya sahabat yang saling membutuhkan. Ratusan kalimat dari mulut dengan telinga yang tak lelah mendengar keluh. Saya butuh didengar dan dia punya sepasang telinga. Pun sebaliknya, dia ingin meluapkan gundahnya, sedang saya punya waktu luang untuk mendengarkan. Jadi kapan saja, saya bisa menjadi telinga dan dia bibirnya. Sedang di lain kapan lagi, saya akan menjadi bibir dan dia telinganya. Seiring usangnya jarum arloji yang berputar dengan tempo yang masih sama dari dulu hingga kini. Seiring dengan menuanya burung beo di sangkar Koh Afang. Seiring dengan sevel dan indomart yang menjamur. Kehidupannya mulai membosankan, itu rutuknya pada saya. Begitu juga dengan saya. Dan kami sama-sama ny...