Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2013

Rasa Nomor 106

Cincin yang melingkar di jari manis itu serupa jimat yang menjauhkannya dari wanita manapun, perempuan manapun, secantik apapun. Namun tidak untuk menjauhkannya dari saya. Sore itu, kami memulai percakapan, berdua. Di sebuah meja yang jauh dari hingar bingar panggung. Awalnya saya dan dia hanya sahabat yang saling membutuhkan. Ratusan kalimat dari mulut dengan telinga yang tak lelah mendengar keluh. Saya butuh didengar dan dia punya sepasang telinga. Pun sebaliknya, dia ingin meluapkan  gundahnya, sedang saya punya waktu luang untuk mendengarkan. Jadi kapan saja, saya bisa menjadi telinga dan dia bibirnya. Sedang di lain kapan lagi, saya akan menjadi bibir dan dia telinganya. Seiring usangnya jarum arloji yang berputar dengan tempo yang masih sama dari dulu hingga kini. Seiring dengan menuanya burung beo di sangkar Koh Afang. Seiring dengan sevel dan indomart yang menjamur. Kehidupannya mulai membosankan, itu rutuknya pada saya. Begitu juga dengan saya. Dan kami sama-sama ny...

Rasa Nomor 105

06 Agustus 2012. Percuma nggak sih sebenarnya saya nulis ide-ide saya kalau nantinya dalam rapat redaksi juga ide ini ditolak, atau dipertanyakan, mental sana-sini lalu ditolak. Saya kan enggak bisa membantah, menolak atau mengungkapkan dengan rinci dan gamblang. Saya juga belum (atau tidak ya) bisa menentukan isu apa yang seksi. Lebih sering saya menentukan, isu yang menurut saya menarik. Namun kawan saya pernah bilang, itu tergantung kamu gimana packagingnya. Bagaimana kamu membungkus isu itu sehingga berlaku global, layak diperhatikan dan penting untuk diketahui publik. Tinggal kamu cari dan tentukan angle terbaik. Idih, mana saya ngarti. Begini, masalahnya kebiasaan saya adalah saya nggak pede dan malu mengungkapkan pendapat di depan orang yang belum dekat dengan saya. Ya, salah saya. Salahkan saya dan rasa nggak pede saya. Tapi saya nggak tahu juga kenapa ada rasa nggak pede dan malu. Ya saya sih sebenarnya nggak mau kayak gini ya. Siapa sih manusia yang penggen jadi “nggak...

Rasa Nomor 104

Saya, enggak punya waktu buat sedih-sedihan atau mellow-melowan nggak jelas. Saya juga nggak punya banyak waktu untuk memikirkan, berapa duit yang harus saya sisihkan buat jalan-jalan. Lalu kota mana yang akan saya tuju untuk menghilangkan penat padatnya kerjaan. Saya, hanya punya waktu untuk memikirkan bagaimana hidup saya terus. Bagaimana cara berdiri setelah jatuh. Bagaimana mempuk-puk diri sendiri ketika nelangsa. Dan bagaimana mengusap air mata ketika tiba-tiba menetes tak sengaja. Namun kadang saya menyempatkan, mencuri sedikit buat hal yang sia-sia. Seperti diam saja, mengamati sosial media, membalasi satu per satu, curhat di ruang 140 karakter, dan banyak hal yang membuat orang lain tahu keadaan saya. Sebenarnya di balik itu semua, saya hanya pengen cerita, tapi nggak tahu ke siapa. Setiap kali bercerita, atau hendak memulai cerita, yang ada di hadapan saya hanya sepasang mata yang tiba-tiba punya penilaian terhadap saya, terhadap apa yang saya ceritakan. Lalu punya j...

Rasa Nomor 103

Tadi, dini hari sepulang memburuh, sekitar pukul 01.00, memasuki kamar pondokan saya yang rudin, mata saya langsung tertuju ke dinding sisi kanan. Di situ terpasang fotonya, di dekat jadwal rencana harian saya. Kemudian saya mulai bercerita, sedikit sih. “Besok (maksud saya 18 Juni) adik ujian, spmb, Pak.” Saya mencoba bercerita dengan istilah yang ia tahu—saat zaman saya ujian dulu ya SPMB. Sekarang namanya SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Entah berapa kali ujian masuk perguruan tinggi itu ganti nama. Tapi tetap saja, kualitas tak ada ubahnya, bahkan kadang memburuk. Kemudian saya melanjutkan, “Semoga adik bisa belajar lebih banyak dari aku.” Kalimat itu aku contoh dari kalimatmu. Kamu ingin aku belajar lebih banyak dari apa yang pernah kamu dapatkan dulu bukan? Itu saja. UK, 18 Juni 2013

Rasa Nomor 102

Apakah makhluk bernama lelaki memang memiliki sifat dasar tidak mau mengalah? Merasa lebih pintar dan menguasai perempuan. Pada dasarnya, lelaki juga manusia. Jadi pastinya kamu bisa salah, Kak. Tapi lelaki dan perempuan, memang bukan soal kalah atau menang. Sesuatu yang tidak adil kadang kala menimpa perempuan. Dianggap salah pada peristiwa pelecehan seksual. Dianggap tidak menjaga diri saat terjadi kekerasan di tengah perjalanan pulang pada sepertiga malam. Diminta tunduk dan menerima ketika ada larangan yang tak masuk akal. Diprotes mundur ketika mencoba menjadi alternatif komandan. *** Malam itu, perempuan dengan air mata tertahan memulai pembicaraan dengan lelaki penyesap rokok di antara telunjuk dan jari tengahnya. Perempuan itu menyimpan lara, berharap seperti kemarau panjang yang kemudian terguyur hujan, perempuan itu menghampiri lelaki yang selalu ingin terlihat serius itu. Mengawali percakapan dengan sebuah kalimat: aku ingin bercerita. Lelaki itu menanggapi p...