di Supermarket
"Nitip satu."
Suara laki-laki di belakang saya bicara ke kasir sembari menyerahkan sekaleng wafer dan lembaran sepuluh ribuan.
"Pakai nota?" tanya kasir.
Laki-laki itu menjawab, tak perlu. Struk pun dimasukkan kawannya yang kasir itu ke laci.
Tanpa ditanya, laki-laki itu menerangkan kepada sang kasir, bahwa dirinya mulai mencicil panganan untuk diberikan ke keluarga, ponakan-ponakannya. Satu hari satu. Saya mencuri dengar percakapan antar-rekan kerja tersebut.
Tak lama laki-laki itu bergegas, saya hanya melihat punggungnya menjauh, ia berlari ke arah truk barang yang baru tiba. Saya mencuri lihat dari ekor mata.
Hari itu sebagian orang sudah mulai bekerja dari rumah alias work from home, tapi orang tadi tidak. Saya menduga ia bekerja di bagian pengantar barang-barang untuk sebuah supermarket, atau yang mengangkut dus-dus berisi makanan ke ruang persediaan?
Saya tak tanya detail juga, hanya mengira-ngira.
Tak perlu waktu lama buat saya untuk jadi baper. Saya langsung tersentuh dengan cara ia mencicil camilan kalengan untuk keponakannya itu. Hal ini lazim dilakukan mendekati lebaran--orang memberikan jajanan bisa berupa makanan dalam toples atau kaleng untuk anggota keluarga lain.
Saya menerka-nerka, mungkin saja, ia tak bisa sekali beli langsung banyak seperti orang di belakang dan di depan saya yang mengantre dengan troli penuh dengan kaleng-kaleng makanan.
Jadi laku membeli sedikit demi sedikit dan mengumpulkannya itu membuat saya tersentuh dan, merasa seperti ada yang menenangkan. Mungkin saat itu--seperti biasa--saya mesam mesem sendiri.
Kehidupan ini memang dipenuhi orang-orang jahat, tapi sekaligus juga masih menyediakan orang-orang yang tulus dan tekun berusaha untuk sesuatu yang, mungkin ia tak tahu apa atau bahkan sia-sia. Dan saya tak peduli perbandingan jumlah antara keduanya. Sungguh tak mau peduli.
Suara laki-laki di belakang saya bicara ke kasir sembari menyerahkan sekaleng wafer dan lembaran sepuluh ribuan.
"Pakai nota?" tanya kasir.
Laki-laki itu menjawab, tak perlu. Struk pun dimasukkan kawannya yang kasir itu ke laci.
Tanpa ditanya, laki-laki itu menerangkan kepada sang kasir, bahwa dirinya mulai mencicil panganan untuk diberikan ke keluarga, ponakan-ponakannya. Satu hari satu. Saya mencuri dengar percakapan antar-rekan kerja tersebut.
Tak lama laki-laki itu bergegas, saya hanya melihat punggungnya menjauh, ia berlari ke arah truk barang yang baru tiba. Saya mencuri lihat dari ekor mata.
Hari itu sebagian orang sudah mulai bekerja dari rumah alias work from home, tapi orang tadi tidak. Saya menduga ia bekerja di bagian pengantar barang-barang untuk sebuah supermarket, atau yang mengangkut dus-dus berisi makanan ke ruang persediaan?
Saya tak tanya detail juga, hanya mengira-ngira.
Tak perlu waktu lama buat saya untuk jadi baper. Saya langsung tersentuh dengan cara ia mencicil camilan kalengan untuk keponakannya itu. Hal ini lazim dilakukan mendekati lebaran--orang memberikan jajanan bisa berupa makanan dalam toples atau kaleng untuk anggota keluarga lain.
Saya menerka-nerka, mungkin saja, ia tak bisa sekali beli langsung banyak seperti orang di belakang dan di depan saya yang mengantre dengan troli penuh dengan kaleng-kaleng makanan.
Jadi laku membeli sedikit demi sedikit dan mengumpulkannya itu membuat saya tersentuh dan, merasa seperti ada yang menenangkan. Mungkin saat itu--seperti biasa--saya mesam mesem sendiri.
Kehidupan ini memang dipenuhi orang-orang jahat, tapi sekaligus juga masih menyediakan orang-orang yang tulus dan tekun berusaha untuk sesuatu yang, mungkin ia tak tahu apa atau bahkan sia-sia. Dan saya tak peduli perbandingan jumlah antara keduanya. Sungguh tak mau peduli.
Komentar
Posting Komentar