Postingan

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

Gambar
Ketika saya masih punya kawan ngobrol ngalor-ngidul dan membicarakan apapun tentang kami, di luar kami, atau hal-hal absurd lain, pertanyaan-pertanyaan yang tidak didahului konteks dan begitu saja tercetus seringkali muncul. Kadang-kadang dari saya, lebih banyak dari kawan saya. Meski kerap didahului dengan 'apaan sih', tapi kami berdua, entah kenapa, sama-sama menjawab, membicarakan jawaban itu panjang lebar dan, bisa jadi topik tersendiri yang kalau dijadikan talkshow bisa kali enam atau lima segmen. Ya, sejam atau dua jam, begitu? Panjang memang. Setelah saya ingat lagi sekarang, kenapa bisa betah ya?  Salah satu pertanyaan yang pernah lintas adalah: Apakah pertanyaan terpenting yang harus dijawab manusia? Apa coba? Kawan saya menjawab, bisa jadi: Siapa aku? Siapa kamu? Apa itu manusia? Ada juga jawaban lain: Bagaimana cara kamu bertahan hidup dari penderitaan--demi penderitaan? Jawaban boleh apa saja, tentu saja.

Tahun Baru

Gambar
Sekitar dua hari sebelum tahun berganti, sebagian orang di media sosial mulai membahas bagaimana 2021 kelak dijalani dan, betapa upaya mereka bertahan sepanjang 2020. Kita--atau saya aja yang ngerasa ya--memang melalui bulan-bulan yang berat karena wabah virus corona (SARS-CoV-2). Bukan di Indonesia saja, warga di negara lain pun demikian. Hidup lalu dirombak sedemikian rupa. Bagi mereka yang sebelum pandemi sudah babak belur melakoni hidup, boleh jadi bulan-bulan kemarin itu jauh lebih bundas lagi. Tapi, mungkin juga, ada pula sebagian orang yang biasa-biasa saja menjalani hari-hari. Masih tetap ke sawah, mengurusi ladang, mencari makan untuk ternaknya, dodolan nang pasar atau, sembarang kalir liyane . Cuma ya, dengan banyak hal mengejutkan yang tak biasa dijumpa sebelumnya dan berujung kelelahan, sebagian lalu menebar optimisme meyakinkan orang lain bahwa geger (e dibaca seperti pada elang) mereka bakal senantiasa tegak dan tumit tetap berpijak. Harapan yang, sebenarnya juga untuk ...

Tua dan Penghiburan Diri

Gambar
Setelah beranjak tua, saya merasakan, rupanya lebih banyak enaknya ketika menjadi anak-anak. Mereka gampang senang dengan hal-hal biasa saja, hal-hal sepele, yang simpel, yang sederhana. Justru begitu. Apa mungkin ini karena belum beragam yang anak-anak tahu ya? Sehingga mereka akan mudah girang dengan yang baru, sekecil apapun, tak luput dari amatan juga pertanyaan mereka. Tapi itu jadinya menyepelekan anak-anak namanya kalau saya menyebut, ini karena belum beragam yang mereka tahu. Mungkin lebih karena, mereka minim ekspektasi? Tidak sok tahu seperti orang--yang menyebut diri--dewasa? Atau, karena mereka masih mengalir, membebaskan diri? Nggak tahu sih ya.    Sementara anak-anak menemukan kesenangan hanya melalui keberhasilan mengelabui para orang tua, misalnya, menekan tombol pause—untuk menjeda—pada timer yang dipasang orang tua sebagai 'pengawas' anak mengerjakan PR dan baru melanjutkan timer saat mereka kelar main di tengah garap PR, sebagian orang dewasa sibuk mencari p...

Percaya

Gambar
Delapan tahun lalu, saya menulis, saya tak akan percaya pada siapapun kecuali ibu saya. Saat itu saya mengalami sesuatu dan, sejak itu saya belajar satu rangkaian kemungkinan; sebagian orang akan mengarang cerita untuk kebaikannya masing-masing, sebagian lagi mengedit cerita untuk menyelamatkan diri dan orang yang mereka ingin selamatkan, lalu sebagian lainnya hanya mengungkapkan apa yang ingin mereka ceritakan. Karena itu saya jadi sulit percaya dengan cerita orang. Mulut yang bercerita punya versi masing-masing. Dan tentu saya--yang sarat keterbatasan, tak akan bisa menjamin mana yang benar. Meski ya, ada yang bilang kebenaran itu berkembang, kontekstual, bukan? Orang kan bisa saja menganggap satu hal benar, tapi lalu yang lain menganggap itu keliru. Atau, suatu waktu, seseorang memegang satu hal sebagai kebenaran. Tapi lalu, waktu berjalan, banyak hal terjadi, boleh jadi satu hal itu berubah nilainya. Bisa kah, begitu? Bisa kali ya. Nggak tahu. Cuma barangkali, mu...

di Supermarket

Gambar
"Nitip satu." Suara laki-laki di belakang saya bicara ke kasir sembari menyerahkan sekaleng wafer dan lembaran sepuluh ribuan. "Pakai nota?" tanya kasir. Laki-laki itu menjawab, tak perlu. Struk pun dimasukkan kawannya yang kasir itu ke laci. Tanpa ditanya, laki-laki itu menerangkan kepada sang kasir, bahwa dirinya mulai mencicil panganan untuk diberikan ke keluarga, ponakan-ponakannya. Satu hari satu. Saya mencuri dengar percakapan antar-rekan kerja tersebut. Tak lama laki-laki itu bergegas, saya hanya melihat punggungnya menjauh, ia berlari ke arah truk barang yang baru tiba. Saya mencuri lihat dari ekor mata. Hari itu sebagian orang sudah mulai bekerja dari rumah alias work from home , tapi orang tadi tidak. Saya menduga ia bekerja di bagian pengantar barang-barang untuk sebuah supermarket, atau yang mengangkut dus-dus berisi makanan ke ruang persediaan? Saya tak tanya detail juga, hanya mengira-ngira. Tak perlu waktu lama buat saya untuk jadi bap...

Tersinggung

Gambar
Status ketersinggungaan itu berbeda. Konon, semakin seseorang merasa derajatnya tinggi maka ia kian mudah tersinggung. Ada yang bilang ke saya, karena itu mengapa sebagian pejabat, pengusaha juga orang kaya yang lebih sering melaporkan orang dengan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik. Memang belum ada data pasti, tapi serampangan saja dilihat, saya setuju dengan itu. Diam-diam saya membatin, iya juga sih ya. Dan lagi, kata K, orang yang mudah sekali marah biasanya justru mereka yang enggak bisa menunjukkan kompetensinya. Yaaaa, K bisa jadi salah. Saya jadi bercermin atas obrolan dua hal di atas itu. Apakah saya termasuk orang yang suka merasa terhina terhadap perlakuan orang lain? Apakah saya mudah tersinggung? Dan, apakah betul ketersinggungan saya itu ada kaitannya dengan ketidakmampuan saya membuktikan kompetensi saya? Saya, pernah sih tersinggung. Tapi tidak sering. Biasanya lebih tersinggungnya bukan sama obrolan antar-kawan, tapi sama atasan yang merendahkan atau...

Jawabanmu dan Keinginan Orang Lain

Gambar
Apa yang membuat orang yang membosankan di mata banyak orang, mendadak menarik bagimu? Karena kamu belum sungguh-sungguh mengenal dia? Kenapa pertanyaanku selalu kamu jawab dengan bertanya balik. Kebiasaan. Okei. Itu karena kamu belum mengenalnya. Berkenalan lah dulu. ***** Jawaban saya, ia balas dengan dengusan. Betul belaka, apapun yang keluar dari mulut saya tak akan membuatnya puas. Buktinya, pertanyaan yang saya ganti kemudian dengan pernyataan toh bukan jawaban yang dia inginkan. Padahal niat saya menjawab dengan pertanyaan adalah membuka kemungkinan lain, mengajak dia berdiskusi. Mencari banyak pilihan jawaban. Ya--kalau dia mengaku sudah kenal betul dengan saya, mestinya dia paham pertanyaan itu adalah basis jawaban saya--untuk menghadirkan, memancing kemungkinan jawaban lain. Dan begitulah obrolan dengan saya yang kelak akan disebut jadi pokok-pokok yang rumit. Kadang-kadang terbesit oleh saya, ada kalanya orang bertanya, barangkali bukan untuk mendapatk...