Rasa Nomer 11
Pesan pendekmu malam ini hadir sebagai batas antara kita.
Kau benar-benar telah mulai membatasi, atau aku yang terlalu sensitif menterjemahkan ulang rangkaian kalimatmu?
Aku tak pernah menolak ketika kau mengajakku bermain layang-layang, dan kau pun begitu, tak pernah menolak jika aku memintamu menemaniku berbelanja ke pasar. Aku anggap kau mau karena itu bentuk balas budimu atas kesediaanku menemanimu. Waktu berjalan begitu cepat, kami saling berlomba, dan aku kalah dengan waktu.
Bagaimana kabarmu sekarang?
Aku masih terus memikirkanmu, dengan mengabaikan kau yang sebenarnya tak lagi memikirkanku. Kau telah bahagia dengan istri dan anakmu, sepertinya. Dan aku, bahagia dengan kesendirianku, aku tak mengutuki diri seperti yang kau kira. Aku sedang berbahagia di balik layar komputer dan sedang riang gembira menari bersama keyboardku. Jangan pikir aku sedih. Tidak, sama sekali tidak. Aku bahagia saat ini, dan nanti, bahkan kelak aku akan selalu bahagia.
Satu yang tak kau tahu tentangku, dalam bahagiaku saat ini. Satu hal yang sama, aku masih menunggumu. Kebahagiaanku saat ini adalah karena aku masih dengan sabar menunggumu, dengan tetap mengabaikan kau yang tak tahu bahwa aku masih selalu menunggumu. Aku benar-benar sadar sekarang aku sedang bahagia. Terkadang bahagia itu tak perlu berwujud kesenangan menurutku. Sebuah penerimaan atau pemakluman kadang juga merupakan bentuk kebahagiaan.
(Gambar : Foto almarhum hengpon'ku. ilang di pangkot, ketinggalan pas makan mie ayam bakso)
*catatan : Menulis itu kadang tak harus “mengalami”. Tapi bagaimana kita ikut merasakan, lalu menuliskannya. Begitu bukan?
Komentar
Posting Komentar