Rasa Nomer 38

Tadi pagi Mang Dadang datang ke rumah, menanyakan bagaimana kabar burung papa yang katanya akan dijual. Mang Dadang sangat sayang dengan burung, melebihi sayangnya pada istri dan anaknya. Mama bilang, papa tidak jadi menjual burungnya. Hmmm, Mang Dadang tampak sedih.

Dulu burung milik papa itu adalah burung Mang Dadang. Ratna, anak Mang Dadang butuh uang untuk modal usaha, membeli bahan-bahan kue dan gerobak maka Mang Dadang dipaksa istrinya untuk menjual burung kesayangannya pada papa. Karena pasti papa akan membeli dengan harga mahal untuk seekor burung cantik macam itu, yang entah apa jenisnya. Warnanya cantik, suaranya juga merdu, ia mungil dan tampak menggemaskan dalam sangkarnya.

Istri Mang Dadang tidak bekerja, sudah tak bisa. Dulu, istrinya bekerja sebagai tukang cuci dan setrika. Namun karena asam urat terlalu erat memeluknya, kakinya sudah nyaris tak bisa digerakkan lagi, linu katanya. Alhasil sehari-hari istri Mang Dadang hanya tidur di atas bayang* bambu yang sama sekali tak empuk. Kata istri Mang Dadang, kenikmatan ia temukan bukan dari tetumpuk kasur empuk kok. Namun dari bayang reot bahan bambu yang dibuat oleh Mang Dadang. Ada bunyi dari bayang yang terdengar seperti mengeluh ketika menahan berat badan istri Mang Dadang.

"Asal sehari-hari bisa makan cukup sama ratna dan mang dadang, ibu sudah bahagia Neng."

Aku ingat betul bagaimana ibu Ratna mengucapkan kalimat itu dengan mata dan warna suara yang tulus, teduh. Sambil tak luput tangannya mengelus-elus kedua kakinya bergantian. Keluarga mereka tak bisa membeli kasur seperti yang kami lakukan. Mang Dadang dan Ratna tidur di atas tikar, kata mereka itu lebih hangat dibanding tidur ngemper di depan toko trus cuma pake alas kardus. Nggak ada atap sama dinding, dingin Neng. ungkap Mang Dadang padaku, waktu aku main ke rumah Ratna.

Dalam keluarga Mang Dadang hanya Ratna yang bekerja, dia anak satu-satunya, SD saja dia tidak lulus. Dulu, kami satu kelas, dia murid yang tidak begitu pintar, rangking pun juga tidak masuk sepuluh besar. Tapi ia gemar sekali membaca, apa saja dibacanya, koran, majalah Bobo, buku pelajaranku, novel mama, buku-buku ceritaku, sampai resep masakan yang disimpan mama di bawah meja tamu. Ratna memiliki kemauan yang keras dalam belajar. Mungkin ini karena keterbatasannya, ia selalu berusaha lebih dari yang lainnya. Namun dunia tak selalu berpihak pada impian kita, kadang kita harus mengalah dengan keputusan2 yang dibuat semesta. Bukan karena kita termasuk orang-orang yang kalah. Namun kadang memang kita harus menerima apapun keputusan, setelah gigih berusaha. Bukannya menerima kekalahan itu suatu bentuk kemenangan? Setidaknya kita tidak kalah mutlak kan, kita sudah berusaha. Hek.

Ratna, anak satu-satunya di keluarga Mang Dadang. Ia rela memusuhi mall dan riang lampu kota yang setiap nyala selalu saja merayu remaja sebayanya untuk menikmati dunia, yang saat itu mereka sebut surga. Ratna punya cara lain untuk menikmati hidupnya.

"Aku juga pengen jalan-jalan kayak kamu, tapi nanti aja kalo udah kaya."

Dan aku menjawab dengan senyum, ada harap yang tiba-tiba tumbuh dalam hati. Melihat Ratna kaya, hehe. Kalo memang itu ukuran kebahagiaannya, yang jelas aku selalu berdoa semoga kami menempuh bahagia dengan jalan kami masing-masing. Ukuran bahagia itu berbeda bukan? hek.

Adonan tepung yang cair dalam ember menjadi pena bagi ratna, ia menulis cerita hidupnya di atas cetakan logam berbentuk lingkaran. Ratna berjualan terang bulan** di sudut perempatan menuju rumahku, laris sekali dagangannya. Ratna bikin terang bulan dengan berbagai macam rasa, tidak seperti penjual lainnya yang hanya sedia cokelat-kacang. Itu mungkin salah satu manfaat dia membaca apa saja, hehe. Gerobak terang bulan-nya di beri tulisan "Doa Ibu". Mang Dadang bilang, Ratna menuliskannya agar ibunya tak memiliki rasa bersalah yang berkepanjangan. Ibu juga manusia biasa, punya keterbatasan. Bukan lantaran ia ibu, ia harus bisa segala untuk anak dan keluarganya.

"Jangan cemas dan nggak enakan gitu, ibu sudah membantu doa kok dalam usaha Nana."

Begitu kata Ratna suatu ketika pada ibunya, cerita Mang Dadang padaku dilain waktu. Mang Dadang senang sekali curhat sama aku kalau aku sedang mengunjungi Ratna, sedang Ratnanya sibuk di dapur. Ketika itu, Mang Dadang bercerita padaku dengan raut sedih. Bukan lantaran cerita tentang Ratna, kurasa itu karena ia masih memikirkan burungnya yang waktu itu baru seminggu menjadi milik papaku. Kalo Mang Dadang mah kerjaannya cuma ngurusin burung, sesekali membantu membawa tangki-tangki air Ngkoh Acong, dengan upah yang hanya bisa dipake belanja sehari.

***

Sebelum Mang Dadang benar-benar pamit dari rumahku, ternyata papa sudah duluan datang dari kantor. Tak biasanya papa pulang cepat. Papa dan Mang Dadang akhirnya terlibat obrolan yang tampak seru, di teras rumah. Kulihat dari pintu kamarku yang sedikit terbuka, mama di dapur jadi sibuk menyiapkan teh dan gorengan untuk menghormati si tamu papa, Mang Dadang. Aku memilih untuk tidur saja menikmati sisa kelelahan usai bimbingan pelajaran tambahan. Yahhh, kurasa bapak-bapak punya cara diantara obrolan dan tawa berat mereka untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapinya. Dalam kunang mata dan kantuk yang tak terbendung, aku masih memikirkan Mang Dadang yang kini tampaknya sudah punya cukup uang untuk menebus burung kesayangan miliknya. Namun kelihatannya papa juga mulai menyayanginya. Ah, aku tak tahu menahulah soal itu.

***

Sama halnya dengan ketaktahuanku tentang akhir cerita Papa, Mang Dadang dan sang burung. Kini aku pun tak tahu mengapa ketika membuka mata, kamarku jadi lega dan bebas pandang jauh ke luar. Tak ada poster Onky Alexander, jadwal pelajaran, jadwal kegiatanku satu bulan, tulisan-tulisan pencapaianku, dan hiasan serupa permata dipintu kamarku. Kamarku jadi serupa penjara dengan teralis kayu, kali ini bukan besi. Dan kuketahui akhirnya, bahwa inilah yang disebut sangkar. Kulihat dari dekat raut Mang Dadang yang bahagia seperti mendapat surga lebih dulu dari manusia-manusia lainnya. Kenapa deh aku jadi burung dalam sangkar Mang Dadang? :O

***

Ah dem. Aku lupa, bersamaan dengan harap bahagia untuk Ratna aku juga berdoa, semoga aku bisa terbang layaknya burung Mang Dadang. Bisa jalan-jalan kemana saja, main dengan angin dan bebas hinggap di dahan manapun selama apapun tanpa harus cemas melihat jadwal dan rentetan tugas yang belum kukerjakan. Tapi yang ini kan burung dalam sangkar, Tuhan. Aku tak menyangka Tuhan akan mengabulkan doaku yang ini.




*bayang = ranjang gitude, dalam bahasa jenegoro =p

**terang bulan = martabak manis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Proyek Teng-Tong Family!

What is The Most Important Question Human Being Must Answer

MUTEB.