Rasa Nomer 112
Hubungan antara bapak dengan
anak perempuannya seringkali rumit. Saya mengalaminya.
Enam tahun ditinggal bapak, saya
masih tak yakin jasadnya pergi untuk selamanya. Pun ibu saya, malahan
ia selalu mengulang pertanyaan yang sama, yang sebetulnya tak
membutuhkan jawaban: kenapa bapak meninggalkan ibuk begitu cepat?
Dan saya, selalu menjawabnya
dengan mengalihkan pandang ke langit-langit rumah atau dinding buffet
tempat foto bapak saya dipajang dan bukunya dijajarkan.
Yang paling menyebalkan dari
perpisahan adalah, selalu ada kenangan di antaranya. Kian hari
bukannya hilang, namun menebal. Semakin terang detailnya. Dan itu
menyiksa. Contohnya, seperti saat jam-jam tertentu bapak selalu
mengantarkan saya. setiap pukul sepuluh malam, kami selalu ngonthel
berdua, menuju indomart yang jaraknya 10 menit dari rumah saya, jarak
tempuh onthel. Di sana, di indomart yang sekarang sudah menjadi toko
alat tulis itu, saya membeli es krim. Hampir setiap hari. Adegan itu
menjadi kian detail, bagaimana bapak mengayuh, percakapan kami, kerut
kening dan rahang yang menguat ketika anak gadisnya digoda. Oh Pak,
anakmu tak selaku itu, jangan marah. Dulu ingin sekali aku bilang
begitu. Tapi bapak, selalu ingin anak gadisnya aman, terlindungi.
Komentar
Posting Komentar