Rasa Nomor 115
Kamis kemarin, Ibuk jatuh dari
sepeda motor. Jalan dengan lintasan kereta api yang terlalu tinggi dan menanjak
membuat ban sepeda motor Ibuk selip. Dan Ibuk jatuh. Saya sedang di tempat
memburuh saat kejadian. Pagi, saya terima pesan pendek dari Ibuk.
“Ibuk di Bojonegoro, nganter anak
kompetisi bintang kelas. Tadi Ibuk lho jatuh pas mau nyebrang rel kereta. Adik
olimpiade doakan.”
Kubalas: Ya Allah, trus gak popo?
Belum sampai dibalas, satu dua
tiga detik kemudian saya langsung menelpon. Kami ngobrol 15 menit. Dan saya
tahu bahwa Ibuk tidak apa-apa. Kemudian saya kembali menerima pesan pendeknya,
“Cuma lecet thok paling, durung
tak delok..”
Seharian saya nggak konsen memburuh.
Kerjaan saya hari itu hanya mengirim pesan pendek, tanya kabar ibuk per 15-30
menit. Isi pesan pendek saya selalu saya ulang: lagi apa? masih ada yang sakit?
Di mana? Lagi apa? begitu terus-menerus hanya untuk memastikan ibuk saya
baik-baik saja. Dengan ngobrol melalui pesan pendek, saya tahu dia baik. Meski
mungkin tak sepenuhnya baik.
Selain itu, kerjaan saya lainnya
adalah lihat-lihat tanggal, putar otak bagaimana bisa pulang. Seandainya saya
di rumah, pasti ibuk tak perlu jatuh, karena saya bisa mengantarnya. Ke
manapun. Kebiasaan saya setiap pulang kampung, selalu mengantar ibuk ke
manapun. Lalu saya bilang ibuk, masih melalui pesan pendek, tentang niat saya
untuk pulang, ke Bojonegoro.
“ee.. mboh.. gak papa... wong
ibuk langsung nganter anak-anak ke Bjn ngono kok. Ibuk lagi lihat yks.” Balasan
Ibuk.
Seandainya saja saya di rumah,
paling tidak saya bisa membelikan betadine. Membersihkan lukanya dengan air
hangat. Sudah diobatikah lukanya, Bu?
“Ya allah.. lebai.. heehee.. wong
baret kok ditambani. Ditambani idune bapak.. heheee...” Ibuk menjawab lagi saat
saya tanya, sudah diobati?
Kehilangan Bapak, membuat saya
ingin selalu menjaga ibuk, memengantarkannya ke manapun. Memastikan ibuk selalu
aman, baik-baik saja. Tapi kini, saya jauh berada di kota lain. Saya selalu tak
siap dengan kehilangan-kehilangan, bahkan ekstrimya mungkin tak mau kehilangan.
Tapi, tak bisa tidak, kehilangan selalu ada di tengah kita tho. Dan sialnya, ia
selalu datang tiba-tiba. Mau tak mau, saya harus selalu berlatih menghadapi
kehilangan demi kehilangan. Meski saya paham. Tak ada kehilangan yang mudah.
Hari itu, Kamis, whatsapp grup ramai
karena ada kawan yang hendak melepas lajang di April ini. Hari itu, Kamis,
tempat memburuh saya ramai hendak mempersiapkan peluncuran program baru. Hari itu,
Kamis, sekitar saya ramai sedang saya sedang sangat takut kehilangan.
Komentar
Posting Komentar