Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2017

Kepo

Gambar
Melihatmu mengunggah foto baju bayi, membayangkan bagaimana kau sebentar lagi menjadi bapak. Yang, mungkin beberapa pekan pertama masih kagok ketika menimang anakmu. Setahun atau dua tahun setelahnya barangkali kau akan menjelaskan teori yang njelimet melalui cerita jenaka. Misalnya, soal kenapa DNA itu bisa berubah-ubah. Atau, bagaimana tembakau bukan satu-satunya yang patut dipersalahkan saat ada penyakit menyerang, sebab terdapat jua zat-zat lain dalam lalu lintas tubuh kita di mana pembawanya bisa dari makanan, minuman atau tetek-bengek duniawi lainnya. Atau, kau akan mengarang fabel, mengganti nama-nama hewan dengan istilah unsur kimia atau nama latin tanaman. Aku turut membayangkan bagaimana kau akan kikuk memulai dongeng pertamamu. Untuk waktu yang singkat, pernah tergambar di benakku soal mendidik anak bersamamu. Kupikir kau cukup baik untuk mengampu pelajaran agama, sedangkan aku akan berusaha melengkapi di luar itu. Bisa soal musik, memasak--meski agak payah, sas...

Bocah Perempuan yang Menulis Puisi

Gambar
Belasan lampu menggantung seperti duplikasi matahari siang bolong. Tapi bulatan-bulatan i tu hanya sebesar bola ubi kopong yang biasa dijual abang-abang di Jalan Sabang. Bedanya, warna tembaga dari benda bundar itu bisa memantul setelah jatuh ke meja-meja kayu yang baru saja dilap dengan kain basah. Beberapa meja masih berkabut. Anak-anak muda tak peduli pada meja berkabut. Anak-anak muda lebih suka layar cerah yang tak bikin mengantuk. Deru motor menyalak. Jalanan lengang, mungkin karena itu suara mesin jadi seperti Monas yang menjulang di tengah rumput lapang . Kota sedang tidak seperti hari-hari kerja. Sejak sore, sebagian orang menyiapkan perayaan Natal. Siapa yang tidak kesepian di tengah kota yang sedang liburan? Kalimat-kalimat di atas saya tulis saat di warung kopi. Setelah membaca Resep Membuat Jagat Raya yang ditulis Abinaya yang, lalu bikin saya senyum-senyum sendiri sembari terus menyantap mi karet di warung Bang Anas. Dan, lantas menggerak...

Spontan

Gambar
The Fratellis menyanyikan Whistle For The Choir dari aplikasi pemutar musik di telepon genggam saya, lagu yang tak begitu melankolik tapi membuat saya menangis, menangis di warung kopi langganan. Mungkin juga karena beberapa tabuhan grup band itu pas dengan nyeri yang saya rasakan. Cengeng betul hidup di kota ini. Lama-lama menyebalkan. Tampaknya ini hari menjadi waktu yang tepat untuk mengokohkan niat, bahwa, saya tak lagi perlu memikirkan apapun di luar diri saya, dan simbok saya dan, adik saya. Sudah cukup itu. Kau, juga harus paham, saya tak lagi percaya soal kebahagiaan. Saya lupa sejak kapan tepatnya berhenti memburu kebagiaan, mungkin saat usia 26 atau 27. Saat itu saya sadar, rasa-rasanya kebagiaan selamanya tak bisa dicapai, kesenangan barangkali masih mungkin. Maka itu pula yang bikin saya tak lagi mengucapkan "semoga bahagia" ke lawan bicara. Saya bisa cerita kapan-kapan soal kebahagiaan versi serat wedhatama atau Zizek atau siapapun j...

Haru

Gambar
Haru, datang tak seperti rasa lainnya. Setidaknya begitu bagi saya. Ingatan saya merunut, apakah ada jenis rasa yang mampu menyergap tiba-tiba selain haru? Kangen atau rindu misalnya, kan tak hadir sekonyong-konyong seperti yang dilakukan haru. berpangkal dari growong karena ada yang biasa hadir lantas absen, maka berbuahlah kangen. Girang atau sedih, juga datang karena rentetan kejadian yang menyenangkan atau sebaliknya, bukan? Sedangkan haru, saya kira ia salah satu rasa yang munculnya mengagetkan. Sangat lekas tapi juga membekas. Jumat sore nyaris gelap, haru menubruk, setelah mengunyah bakso lantas menyeruput campuran kopi, rum dan cokelat. Sesaat kelar membaca pesan pendek yang masuk ke telepon genggam saya, kelopak mata begitu saja menghangat. Air sudah berkubang di pinggiran kantung mata, sebentar lagi tumpah, saya mendongak. Di tengah banyak orang, ditambah warung kopi yang sedang ramai-ramainya, agak musykil menuruti kerja tubuh saya. Saya menolak mena...

Minum Kopi dan Alasan yang Dibuat-buat

Gambar
Kadang, memilih jenis kopi itu bukan perkara kita — atau dalam hal ini saya — saat itu sedang berhasrat dengan biji kopi tertentu. Beberapa kali saya menjatuhkan pilihan untuk minum kopi anu atau ini dengan alasan yang tidak masuk akal. Bolehlah disebut, konyol. Misalnya, pernah suatu ketika, hanya karena saat itu saya sedang ingin ditemani oleh seseorang. Namun orang itu tidak bisa hadir, maka saya pikir tak ada salahnya kalau mengganti absennya orang tersebut dengan memesan kopi kesukaannya. Siapa tahu dengan begitu seolah-olah orang itu hadir. Siapa tahu. Yang beginian —hadir dan tidak hadir — kan kadang juga soal bagaimana kita mengimani saja. Nah, lantas jadilah waktu itu, saya mengingat apa kopi kesukaannya. Kemudian meniatkan diri untuk memesan jenis kopi kegemaran orang-yang-sedang-saya-dambakan-hadir-itu. Malam baru turun di ibukota. Belum lagi lama, baru pukul delapan. Terlalu sore bagi saya untuk kembali ke kamar sewa. Maka, bulatlah ni...

Pengakuan

Gambar
Kutunggu hingga sepertiga malam, kau tak menghubungiku. Selanjutnya, aku harus rela menerima kenyataan bahwa aku mungkin tak berarti apa-apa. Setelah perdebatan panjang tentang bagaimana takdir sekarang, sesuatu yang baru akan terang setelah kejadian, rupanya aku ketagihan bicara denganmu. Kita bertukar banyak hal. Pada malam pertemuan tak terencana itu, aku sempat menyangkal beberapa gagasanmu. Misalnya, kubilang, kita berhak menentukan hidup kita sendiri. Kau ngotot, semesta sudah mengatur semua. Lantas pertanyaan lanjutanku, untuk apa kita hidup jika semua sudah ditentukan?  Kau mengurai lebih panjang. Tapi aku betah. Aku juga heran kenapa kupingku bisa begitu kerasan mendengarmu. Malam itu seolah aku hanya mendengar percakapanku dan kau. Padahal ada saut obrolan orang di sekitar tempat kita duduk dan, deru kendaraan. Berisik sekali. Aku menyadari itu saat kita sama-sama terdiam dengan pikiran atau mungkin, prasangka masing-masing. Kursi dan meja...